profil flp depok

keceriaan

ketekunan

kebersamaan
FLP Depok Menerima Anggota Baru Angkatan VIII # mau bergabung klik Form Pendaftaran

Haji Bawakaraeng

Rabu, 20 Januari 2010


Cerpen Emil Akbar
Dimuat di Majalah Gong Edisi: 111/X/2009

Seperti tawaf di Ka’bah, saat itu jamaah yang datang dari berbagai daerah, tengah khusyuk mengitari tugu beton yang pernah dibangun Belanda beberapa waktu silam, sambil mengumandangkan kalimat tauhid dengan tubuh bergoyang laksana ilalang yang menari ditiup angin. Ketika gerombolan itu datang menghujat.
“Syirik!”
“Bukan ajaran Islam.”
“Bubarkan!”


***

Aku selalu heran. Ibu sering melarangku pergi ke Malino untuk mengisi liburan semenjak masih SMA sampai sekarang, aku kuliah dan menjadi anak pencinta alam. Paling tidak ibu sering menghalang-halangi niatku dengan berbagai alasan. Padahal di sana aku punya warisan peninggalan ayah, berupa tempat penginapan yang dikelola orang lain. Makanya kerap kali aku berangkat diam-diam. Sepulang dari Malino, ibu pasti tahu dan langsung menghukum dengan cara mendiamkanku beberapa hari. Sejak itu aku tahu ibu tidak pernah ke sana.

Ketika ibu bertanya apa saja yang kulakukan setiap aku berkunjung ke sana, kulihat wajahnya harap-harap cemas seperti was-was yang tak semestinya. Bagai anak kecil yang ketahuan mencuri, kuceritakan semuanya termasuk pengalamanku mendaki puncak gunung Bawakaraeng dan kudapati di sana ada ritual haji. Ibu makin panik dan kian hari mengurung diri di dalam kamar. Saat kutanya kenapa? Ibu bungkam seribu bahasa seperti bertingkah yang tidak kumengerti. Tatkala kini berbaring lemah di rumah sakit, barulah ibu mau bercerita.

“Bunga, kamu punya seorang kakak.”

***

“Kapan kita naik haji, Daeng?” tanya Maniah yang sebenarnya tidak perlu Daeng Tata jawab sebab ia tahu istrinya itu hanya mengeluhkan nasib yang tak pernah bisa simpan uang.

“Sabarlah dulu, Anriku. Bila tiba waktunya, kita pasti akan ke tanah suci. Untuk itu kita jangan putus berdoa,” nasihatnya itu belum mampu meluluhkan hati Maniah yang punya mau.

“Percuma berdoa tanpa usaha, Daeng. Apa yang bisa diandalkan dari sepetak sawah warisan orangtuamu yang tak seberapa itu. Tak cukup bahkan untuk perut kita. Sayuran dan kadang padi yang kita tanam harganya selalu rendah, tidak pernah naik. Kita tinggal di hamparan gunung yang luas tapi milik kita tidak lebih dari secuil. Dan apa pula yang Daeng bisa lakukan selain bertani.”

Daeng Tata meredam amarah yang menghantam dada, berusaha maklum akan ucapan istrinya yang begitu tajam menusuk. Barangkali Maniah tidak sadar tengah menyinggungnya.

Dulu, orangtuanya memang punya banyak tanah. Namun tanah itu dijual murah karena didesak oleh usia mereka untuk naik ke tanah suci sebelum maut menjemput, dan beberapa tanah disita lantaran orangtuanya mengambil pinjaman untuk menambah upah naik haji, sebab uang hasil penjualan tanah belum juga cukup memenuhi ongkos. Juga buat selamatan sebelum dan sesudah naik haji. Harus dilunasi karena sudah menjadi kewajiban keluarga yang ditinggalkan untuk membereskan segala hajat yang tertunggak. Beberapa kali Daeng Tata didatangi di dalam mimpi, orangtuanya mengemis memintanya segera membayar utang mereka kepada yang bersangkutan yang memang sering menagih. Padahal sisa tanah yang mereka wariskan adalah biaya hidup Daeng Tata sehari-hari.

Waktu itu, tanah memang seperti tidak ada harganya sebab jarang yang mau beli. Apalagi terletak di daerah puncak. Namun sekarang di tanah itu sudah banyak berdiri Vila, tempat penginapan untuk para pelancong yang berwisata ke Malino yang terkenal dengan air terjun dan udaranya yang sejuk.

“Besok saya akan ke atas, Anri. Kamu mau ikut?” bujuknya agak mengalihkan pembicaraan agar perasaan istrinya sedikit lunak, lantaran malam ini lelaki itu membutuhkannya. Ia memegang bahu istrinya pelan yang sedang berbaring membelakanginya.

“Tidak. Saya tidak percaya lagi, Daeng. Saya capek berangan-angan. Saya tidak mau pahala yang sama dengan naik ke Mekkah di atas gunung Bawakaraeng itu. Apakah Daeng tidak tahu? Banyak yang bilang ibadah ke sana itu keliru.” Maniah menolak secara halus, menggeser pundaknya biar terlepas dari tangan suaminya yang membelai bahunya.

“Ah, tahu apa mereka itu? Mereka tidak tahu apa-apa. Hanya hendak memaksakan ajaran yang katanya murni!” ujarnya seperti mengumpat. Menghempaskan diri karena merasa gagal melelehkan kebekuan istrinya.

Sungguh Daeng Tata sangat sulit menakhlukkan tabiat istrinya yang keras hati ketika sedang merajuk. Perempuan yang ia nikahi mati-matian sebab ia punya saingan. Ia rela menghabiskan tanah warisannya yang tersisa buat memenuhi permintaan calon mertuanya yang banyak ulah itu, sebab ada orang lain yang juga hendak melamar. Kepada pemberi yang tertinggi, mereka melepas anak gadisnya.

“Daeng, bagaimana kalau saya ke Makassar mencari kerja?” Tiba-tiba Maniah mengajukan usul yang tentu saja mengejutkan Daeng Tata. I strinya membalikkan badan menatapnya. Berkat pelita minyak yang menyala redup, ia bisa melihat mata istrinya yang berbinar, ada semangat di dalamnya.

“Seperti waktu gadis dulu. Saya akan bekerja sebagai buruh pabrik dan bakal menabung,” lanjutnya penuh harap, demikian riang seperti mengejar impian.

“Anri, kau akan lama di sana nantinya. Dengan begitu kau tega meninggalkan saya sendirian di sini.”

“Tidak apa, demi masa depan kita. Kelak bila sudah cukup uang dan pengalaman saya akan mengajakmu serta. Kita buka usaha di sana.”

“Tidak. Saya tidak mengijinkanmu!”

“Daeng, tenang saja. Sesekali saya akan menjengukmu.”

Suaminya bungkam yang bukan hanya diam. Maniah juga sejenak membisu sekedar mencari jawaban yang diinginkannya. Namun air muka Daeng Tata tidak berubah, dan istrinya itu sudah mengerti bahwa ia tidak bakal mendapatkan restu untuk pergi. Sambil kembali membalikkan badan, ia tetap menceracau. Tak mau menyerah.

“Kakak-kakakku sudah haji semua. Adik lelakiku yang pedagang itu sudah berangkat. Saya saja yang melarat seperti ini,” suaranya lirih menyindir. Namun ia tidak memperoleh tanggapan selain sunyi.
“Besok, naiklah ke atas supaya diberi gelar Haji Bawakaraeng. Teruslah seperti itu, sampai kapan pun, Daeng tidak akan mampu naik haji.”

Maniah diambang putus asa, memadamkan lampu minyak. Tidak peduli lagi dengan suaminya yang malam itu berhasrat bikin anak. Boleh jadi istrinya itu sering uring-uringan lantaran belum melahirkan buah hati. Pernah Daeng Tata dan maniah mendatangi sanro untuk berobat setelah lama menunggu. Namun dukun itu menyurutkan harapan. Katanya, Daeng Tata punya mani yang terlalu panas hingga mematikan indung telur. Lain hari berujar, rahim Maniah telah dingin dan beku. Terakhir menyimpulkan, mereka tidak cocok.

Daeng Tata tidak bisa tidur, memandang nanar gelap yang mengerubungi.

***

Dan Sekarang aku berada di sini untuk menemuinya.

Di atas gunung Bawakaraeng, angin menampar tubuh ringkih Daeng Tata yang tak goyah, memandang jauh di bawah sana. Bagai di laut, langit merendah begitu dekat sebab puncak bukit itu menjulang seperti hendak menjangkau cakrawala dengan gumpalan mega-mega berarak-arak serupa ombak yang tak surut, bergulung-gulung dengan pekatnya. Tampak megah keemasan pada senja yang bangkit, pertanda malam akan memeluk hari. Dan setiap kali awan itu melintas, bayangannya tampak berkejaran di permukaan bumi.

Deru angin terus menerpanerpa. Hembusan itu bertiup kencang membuat celana kain dan baju lusuh serta sarung yang tersampir di pundaknya berkibar-kibar ke belakang. Kopiah hitam bertengger di kepalanya yang beruban pun telah pudar serupa dirinya yang digerogoti usia.

Lelaki tua itu masih menatap, barangkali nun pada hamparan kota Makassar yang merajalela, tanah daratan yang jauh dari sini dan hidup dengan gemerlap, kelap-kelip yang mengalahkan kedap-kedip bintang yang mulai bermunculan di langit yang sebentar lagi menghitam, seperti perempuan nakal yang main mata.

Aku sejak tadi mengamatinya dari jarak yang tak dekat. Agak ke bawah, di balik hutan yang dihuni halimun, kabut asap tipis nan dingin yang lalu lalang. Aku melangkah mendekatinya dengan kaki kuseret biar berisik supaya ia berpaling, tapi Daeng Tata tetap bergeming hingga aku berada sejajar dengannya. Dingin kian merasuk mungkin sampai tulang, ngilu yang membeku. Aku menggigil seperti digigit oleh dingin, membuat gigiku ingin bergemelutuk dan akan mengeluarkan uap es ketika aku berbicara dan bibirku kini menjadi kelu. Padahal badanku dibungkus jaket tebal bagai berbalut-balut. Aku seperti hendak meringkus diri pada kedua tanganku yang bersilang di atas dada.

Berbeda sekali dengan Daeng Tata yang santai saja menautkan kedua tangannya di belakang punggung karena sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini. Aku yakin telapak tangannya akan berkeringat dan kulitnya bakal meleleh lantaran peluh, tatkala nanti ia ke Makassar yang teriknya garang dengan niat mencari anaknya yang tak pernah menjenguknya beberapa tahun ini, semenjak pertengkaran yang aku pun tahu. Bagai menunaikan hajat ke tanah suci yang tak pernah terwujud karena uangnya tidak pernah cukup dan tiap tahun biayanya selalu naik.

Sungguh lelaki tua di sampingku ini seakan tidak bisa berpisah dari gunung Bawakaraeng yang ia jaga melebihi dari hidupnya. Ia menanam Mahoni dan jati serta pohon jenis lainnya di lereng bukit, dan di lokasi yang pohonnya terbabat di sekitar gunung. Bibitnya ia semai di pekarangan rumahnya. Sebab jasanya itu ia mendapatkan upah tiap bulan dari pemerintah Gowa yang tidak cukup buat makan berhari-hari. Lembaran uang itu ia tabung dalam kaleng biscuit entah berapa tahun, yang telah penuh. Namun jika dikumpulkan dan diikat dengan karet jumlahnya tak seberapa, tidak sebanding dengan jerih payahnya. Aku mengetahuinya sebab ia bermaksud menitipkan segepok uang itu beberapa hari yang lalu kepadaku buat Amiruddin, anaknya. Uang kuliah untuk temanku itu. Dulu memang anaknya adalah temanku tapi setelah aku tahu semuanya, dia bukan lagi temanku. Lebih dari itu. Aku bilang, Amiruddin memiliki usaha yang tidak tetap.

“Bunga, sampaikan salam saya pada Anakku yang masih keras hati. Bilang, saya sangat merindukannya,” ujarnya lembut nan tegas tanpa melepas pandang melihat kota Makassar yang berkilau gemilang serupa lampu senter yang benderang di tengah kegelapan, seperti kumpulan cahaya.

“Tata, tahu sendiri sikapnya yang tak mau dengar. Dan aku tidak bisa memaksa,” kataku setelah agak lama terdiam, lantaran aku sibuk menghalau dingin yang kian merayap pada hawa yang mulai senyap. Kulihat pelita di rumah penduduk di kaki dan di pinggang gunung sudah mulai berkeliaran bagai percikan sinar yang menyebar, bak kunang-kunang yang saling menjauh mencari tempat hinggap.

“Bujuk dia sampai mau. Katakan lagi padanya bahwa saya akan minta maaf, kalau perlu saya akan bersujud di kakinya. Akan kutinggalkan semua kebiasaan yang dimatanya adalah dosa. Hanya dia satu-satunya harapanku, Bunga. Harta warisan peninggalan almarhumah istriku yang ingin kususul di tanah suci. Dialah yang dapat mewujudkannya.” Kali ini ia menjenguk mukaku yang hampir beku, menatap asa begitu memelas.

“Iye, Tata, akan aku usahakan,” ucapku dengan gigi bergeretak. Kendati aku tidak tahu dimana Amiruddin sekarang. Namun aku yakin tidak susah untuk menemukannya. Sebab dia tidak kuliah lagi. Lebih memilih menyeru jalan agama ketimbang menuntut ilmu di fakultas yang katanya tidak dibawa ke akhirat.

***

“Aku belum menikah karena belum bisa melupakanmu. Dan aku akan terus menunggu sampai kamu mau, Maniah.” Sungai Jene Berang mengalir deras seperti meluap, menenggelamkan bongkahan batu kali yang terserak. Maniah bagai terseret oleh arusnya, telinganya berdengung mendengar ucapan Andi Baso. Pertemuan di tepi sungai di suatu pagi yang hendak beranjak, ketika Maniah usai membasuh diri dan membersihkan cucian.

“Saya sudah punya Daeng Tata!” jawab Maniah bergetar, agak terperangah. Meraba-raba kemauan hatinya.

“Itu bukan masalah jika kamu mau.”

Maniah menatap lelaki itu begitu lama seperti hendak menemukan keseriusan. Lelaki yang pernah ditolak sebab tak mampu memenuhi permintaan orangtuanya, sehingga Maniah mengubur cintanya dalam-dalam. Pertemuan itu rutin meski tidak setiap pagi dan kadang di tempat berbeda yang tidak diketahui orang lain, saat sepi. Sampai kesalahan itu diperbuat, yang membuat Daeng Tata senang karena tidak tahu.

“Kamu hamil, Maniah?”

Perempuan itu tidak mampu berterus terang karena didera dosa. Ia gelap mata. Andi Baso sangat sulit diabaikan. Bukan hanya karena ada hati, melainkan menjanjikan hidup layak dan nantinya bisa naik haji. Lelaki itu telah mapan. Kupingnya sudah terlalu panas mendengar segala gunjingan hina akan hidupnya yang tak kunjung membaik.

Maniah merasa tidak dipandang di tengah keluarga dan di setiap pesta yang dikunjunginya. Tidak diperbolehkan berjejer menyambut tamu di ruang depan karena belum haji. Cuma kerap mendapat tempat di dapur dan dianggap serupa asap yang mengepul lalu lenyap tak bersisa dan tak ada yang peduli. Hanya disuruh bantu-bantu memasak. Lantaran malu, ia tak tahan. Ketika kesempatan itu memberi peluang tak mungkin ia tampik kendati meninggalkan aib.

“Bayi itu anakku, Maniah.”

“Tidak Andi Baso. Daeng Tata sangat mengharapkannya. Saya akan menyusulmu nanti setelah saya melahirkan.”
***

Daeng Tata masih menatapku begitu teduh penuh pancaran kasih seperti menganggap aku adalah anaknya.

“Terima kasih, Bunga. Mari kita turun. Sepertinya kamu sudah tidak tahan dingin. Teman-temanmu juga sudah lama memanggil. Kamu tahu, Bunga? Kamu mirip istriku waktu muda.”

Aku tidak tersipu dengan gurauannya. Aku malah makin merasa bersalah. Ah, seandainya Daeng Tata tahu tentang rahasia yang kubawa, titipan pesan dari ibu yang mesti kusampaikan. Mengenai masa lalu yang tak ada hubungannya denganku. Aku hanya ingin mengatakan, istrimu belum mati dan Amiruddin bukan anakmu. Namun mulutku ini tak sampai hati mengutarakan maksud di setiap kesempatan berdua dengannya seperti tercekat di tenggerokan. Padahal besok aku sudah kembali ke Makassar.

Teman-temanku sudah membereskan segala peralatan camping tak terkecuali sisa-sisa berupa sampah. Memastikan tak ada yang ketinggalan, semuanya ada dalam ransel besar di pundak. Setelah berucap syukur, kami siap turun gunung. Di lembah Ramma, di rumah panggung Daeng Tata, kami akan istirahat. Barangkali sampai pagi meninggalkan hari. Semoga kesempatan terakhir itu tidak aku siasiakan untuk membuka mulut, atau tidak sama sekali.

***

Sinjai, 29 Oktober 2008

Catatan:

Gunung Bawakaraeng yang berarti Mulut Tuhan adalah tempat Syekh Yusuf berangkat ke Mekkah. Ulama sufi yang paling terkenal di seantero Sulawesi, dipercaya masyarakat bagai ditelan lalu hilang dan muncul di tanah suci. Dari sini awal mula ritual haji Bawakaraeng.
Daeng: Panggilan sayang untuk suami yang berarti kakak.
Anri: panggilan sayang untuk istri yang berarti adik.

Calabai


Cerpen Emil Akbar
Juara 2 LMCR LIP ICE-Selsun Golden Award 2007 PT ROHTO


Dewata, aku mencintainya. Kurasakan telaga asmara yang tidak kutemukan pada seorang gadis yang menaruh hati padaku. Maka dari itu, aku tak pantas menjadi seorang bissu. Kesucian telah kunodai. Pantangan pernah kuperbuat. Kodrat dan tradisi sudah kulanggar. Aku tidak mau hidup gila atau mati sia-sia!
Lantas, masih adakah pengampunan di sana?


Pagi yang luka. Bunga kuncup diselimuti kabut. Embun meretas pada tepian rumput, terinjak basah meruapkan bau tanah. Langkahku gontai di subuh yang buta. Menapaki hutan, pepohonan yang mengggigil. Menuju Sungai Segeri.
Aku tak pernah tahu kalau hidupku menimbulkan petaka!

Kata orang-orang aku ditemukan mengeak di keheningan malam di lego-lego Mak Rappe, sanro di kampung ini. Aku diasuh, dirawat, dididik, dan dibesarkan olehnya. Menemani masa tuanya yang melajang hingga sekarang aku dewasa.
javascript:void(0)
Mak Rappe adalah putri bangsawan bergelar Andi Petta. Dulu di masa mudanya pernah jatuh cinta dengan lelaki dari golongan rakyat jelata. Ia tak bisa menikah dengan belahan jiwanya itu, lantaran keturunannya nanti tidak akan mewarisi darah birunya. Sebab lainnya, lelaki itu lebih memilih menjadi orang suci yang berdarah putih. Menjadi keturunan Dewa di bumi.

Tetapi kini mereka berdampingan. Mak Rappe telah menjabat sebagai Puang Lolo, menyertai Puang Matoa Rala, kekasihnya itu di setiap upacara. Mereka adalah bissu titisan Datu Patoto yang diakui dan disegani oleh segelintir orang di tanah bugis.
Dan aku tak perlu tahu siapa orang tuaku, karena alam begitu setia menyimpan rahasia.

***

Tamat dari Madrasah Aliyah aku langsung dikurung di bola arajang, diajarkan adat-istiadat yang telah lama dilupakan orang, ajaran pribumi. Aku magang dalam waktu yang lama, sampai aku bermimpi sebagai penanda aku direstui Dewata untuk menjadi seorang bissu. Dalam mimpiku roh leluhur mendatangiku dengan pakaian serba bercahaya, berkilauan membuat mataku silau. Berbicara dengan basa torilangi yang tidak kumengerti. Meludahi mulutku sebelum pergi ditelan kelam. Ketika aku bangun, Puang Matoa Rala sudah berada di sampingku dan segera memberitahukan pada seluruh penghuni bola arajang bahwa aku sudah siap irreba, ritual yang harus kulalui untuk ditahbiskan menjadi bissu sejati. Kuhindari tatapan Muharram yang menghunjam penuh arti namun sulit kutafsirkan. Ah, Aram, matamu begitu runcing menusuk sanubari.

Esoknya Mak Rappe datang bersama Mak Rabia dan Maulida. Berlinang air mata ia merasakan kebahagiaan tiada tara sambil menyerahkan harta benda untuk upacara adat ini. Aku diwajibkan berpuasa selama tujuh hari sebagai awal prosesi irreba dan diasingkan di sebuah rakit berbentuk gubuk di tengah danau. Menginap tanpa makan, minum dan bergerak. Di sini aku bertapa, merasakan nestapa.

Betapa di hari-hari yang menyedihkan ini, aku butuh kehadiran Maulida, lalu bercerita bahwa aku tidak bahagia dengan semua ini. Bukan ini yang kuinginkan. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Semua orang mencemoohku karena aku calabai, laki-laki yang berperangai seperti perempuan. Kata mereka aku pembawa sial, 40 hari 40 malam tidak mendapatkan rezeki serta amal baiknya tidak diterima pahalanya oleh Allah, akan menimpa mereka yang melihatku. Aku jadi bahan olok-olokan, diusir dan dilempari batu di jalanan bagai orang gila. Banyak orang sepertiku dan diperlakukan sama. Bahkan dianggap lebih najis dari anjing, yang layak disiram dengan air comberan.

Para pengiringku telah pergi. Di sini aku berkawan sepi dan sunyi ketika malam. Di ruang pengap ini tak ada pagi, siang, dan sore bagiku karena kukatupkan mata. Gelap adalah kehidupanku sebelum cahaya memancar di wajahku. Aku mencoba menyatu dengan semesta, tapi tak bisa. Terlalu banyak peristiwa yang berkelebat di pikiran. Mungkin tulus hatiku belum murni.

Terus terang aku melakukan semua ini untuk Mak Rappe. Sebagai anak terbuang yang dipungut, sudah sepantasnya aku balas jasa. Besar harapan aku bisa mewarisi kesaktiannya, mempertahankan adat ini sebagai penerus. Agar aku tidak diremehkan. Tujuannya sangat mulia, mengangkat derajatku supaya aku punya siri, harga diri dan kehormatan yang telah tanggal semenjak aku lahir.

Sungguh, semangatku membuncah mengikuti bimbingan Puang Matoa Rala saat Muharram, keponakannya, tinggal bersamaku di bola arajang. Kedua orang tuanya meninggal di tanah suci Makkah. Puang Matoa Rala kemudian menjadi walinya dan memegang kendali harta warisnya. Kenangan di masa-masa sekolah dulu terulang kembali. Pertemuan-pertemuan rahasia kami tak ada yang tahu. Begitu pula dengan perasaan kami yang saling jatuh cinta. Ia berjanji akan mendampingiku sebagai toboto setelah aku menjelma bissu yang sakti. Diam-diam aku menggunakan naga sikoi, jimat pekasih untuk mempererat hubungan kami. Kuucapkan mantra,
“Tubunna Aram tellengi ritubukku, atinna Aram tellengi riatikku, nyawana Aram tellengi rinyawaku, papujinna Aram rialeku mapada papujinna nyawae ritubue.”
Akan tetapi, semuanya hancur berkeping-keping ketika Puang Matoa Rala mencium kelakuan kami. Rapat digelar. Mereka berembuk tentang hukuman apa yang patut kami terima sebab telah mengotori bola arajang, biar para leluhur tidak murka.

Disepakati Muharram akan dinikahkan dengan Maulida, lalu aku dikucilkan di danau ini!

***

Muharram dan Maulida adalah temanku sejak kecil. Kami selalu bersama; bersekolah, bermain, dan mengaji. Muharram siap membela jika ada yang mengusiliku. Maulida akan menghiburku ketika tak bisa kutahan tangis yang bercucuran.

“Calabaimi ropale wasetongi anadara...!”

Begitu para pemuda mengejekku. Dan kedua sahabatku ini senantiasa ada untukku.

Pulang dari sekolah kami sering berkumpul di rumah Mak Rabia untuk mengaji. Sebelum mengaji, kami diberi tugas masing-masing. Muharram mencari kayu di hutan dan memikulnya di bahu. Aku mengambil air seember di pancuran bambu yang lumayan jauh dari rumah Mak Rabia, dan membawanya dengan cara menjunjung di atas kepala. Sedangkan Maulida menumbuk beras atau tepung di lesung batu di kolong rumah. Kerap kali antara aku dan Maulida berganti tugas. Kadang kala juga ikut mencari ranting kayu di hutan, memungut dahan-dahan pohon yang jatuh kering. Setelah itu kami berwudu, memakai sarung lalu mengaji.

Alefu riasena… A, alefu riawana… I, alefu dafenna… U, aaa iii uuu! Ba riasena… Ba, ba riawana… Bi, ba dafenna… Bu, baa bii buu!”

Begitulah mulut mungil kami mengeja huruf-huruf hijaiyyah.

Mak Rabia adalah mak Maulida serta makku juga karena kami saudara sesusuan. Ia seorang janda. Suaminya mati hangus terkena lette ketika membajak sawah di hujan yang membadai. Itu sebabnya Maulida tak melanjutkan sekolah karena tak ada biaya. Aku masuk pesantren Muhammadiyah. Sementara Muharram di sekolah negeri. Persahabatan kami agak renggang sewaktu tumbuh dewasa dan berubah menjadi perasaan yang lain.

***

Malam merayap gulita. Nyanyian binatang kelam berirama dengan gemericik air yang dimainkan ikan di sekelilingku. Danau angker ini dikerumuni bakau dan berlumpur. Sangat jelas kudengar letupan mata air yang bergelembung serta jalan kepiting yang merangkak. Ada kodok memimpin keriuhan malam. Sesekali lolongan anjing menimpali, meraung-raung di kejauhan. Barangkali ada babi hutan mengamuk di tengah rimba mengorek-ngorek mencari makan. Ini malam yang terakhir, besok aku dijemput.
Tiba-tiba, bunyi kecipak air disampan mengusik telingaku. Dadaku berdebar saat seseorang memanggil namaku.

“Sangkala aku datang...!”

Meremang bulu romaku. Bukan karena takut. Bukan pula karena leluhur mendatangiku.

“Buat apa kau ke sini?”

Kain tanpa jahitan yang membungkus tubuhku tersibak. Rambut panjangku luruh menjuntai sampai ke bahu menghiasi parasku. Cenning rara melingkupi. Matanya menjilati kepolosanku.

“Untuk membuktikan cintaku padamu!”

Lelaki kekar itu mendekat, ingin menyentuh wajahku. Kutepis dengan gerakan lemah tak bertenaga. Ia berhasil merenggut rambutku membuat mukaku mendongak. Ia milik sahabatku yang kukagumi.

“Pergilah Aram, Maulida menunggumu.”

“Kau salah! Dia menampikku. Aku butuh....”

Aku tidak menolak ketika Muharram mengikuti dorongan nalurinya menyelusuri tubuhku yang meremang ini. Aku hanyut terbawa arus perasaan yang lena. Kuresapi kenangan, memasuki lorong waktu. Kami selalu mencuri-curi kesempatan di hari libur, mandi bersama di sungai di balik semak belukar, setelah badannya yang berotot menampung segukku. Sikapnya yang peduli, perhatian, dan rela mendengarkan keluh kesahku, membuahkan perasaan tak terbendung, menyelinap pada dawai hati yang berdebar. Aku menyukai aroma peluhnya sehabis kerja di sawah. Kulitnya yang legam sangat berbeda dengan kulitku yang seputih gading. Kami berpandangan dalam diam waktu itu. Kemudian saling menyentuh tanpa kata-kata. Dan kini, kuteguk kenikmatan yang sama ketika keperkasaannya membobol tubuhku dengan cairan metahnya. Oh Dewata, aku takut mendapat karma. Bayang-bayang siksaan mencambuk hatiku. Cemas tak berujung. Muharram menatapku lekat.

“Aku akan merantau, ikutlah denganku.”

“Tidak Aram. Aku tidak mau lepas dari tanggung jawab. Semoga para makhluk menutup mata saat kita melakukannya. Ini rahasia kita dengan para leluhur, dan aku perlu berbagai ragam ritual untuk memohon ampun.”

Dini hari ia meninggalkanku dengan goresan luka di hatiku. Aku sangat mencintainya. Namun kehidupan dunia tak mengijinkan. Aku berharap, kelak di negeri khayangan Batara Guru merestui hubungan kami.

***

Melihat diriku yang lusuh; kain koyak, rambut awut-awutan, aku disangka telah dimasuki roh makhluk halus. Aku digiring kembali menuju bola arajang. Tiba ketika malam makin larut.

Rumah panggung beratap rumbia berbentuk segi empat dengan dinding anyaman bambu sudah tampak ramai seperti ada perhelatan. Tiang-tiang penyangga rumah berdiri kokoh dihiasi lampu minyak. Di kolong rumah pagenrang menabuh gendang menghentak-hentak mengiringi langkahku menaiki rumah. Aku disambut dengan suka cita. Dilempari butiran beras disetiap tangga yang kudaki.

Dalam rumah, para jennang berkeliaran menyiapkan upacara. Tikar terhampar. Panati mengatur sesajen berupa dupa, minyak bauk, tana bangkala, sokko patanrupa, tiga butir telur, beberapa sisir pisang, ayam masak yang telah dicabut bulunya, diletakkan di lempengan besi berwarna emas berbentuk piring berbagai ukuran. Sebuah anca, pohon buatan yang terbuat dari pucuk ijuk menjuntai, menaungi sesajen itu. Aku duduk pasrah serupa tersangka yang hendak dihakimi. Di hadapanku Puang Matoa Rala bersila membaca kitab kuno dengan basa torilangi. Mengenakan pakaian kebesarannya lengkap dengan topi bertanduk seperti kerbau. Dandanannya menor dengan badik pusaka bersanding di pinggang. Kualihkan pandangan, kulihat Maulida di sudut ruang bermata sayu. Aku yakin Muharram melarikan diri. Cepat atau lambat semua orang akan tahu ia janda perawan. Suatu waktu ia pernah berkata padaku.

“Sangkala, kau yakin dengan jalan hidupmu?”

“Entahlah. Aku cuma bisa pasrah dengan nasibku.”

“Tidak inginkah kau beranak pinak?”

“Apa maksudmu?!”

“Tak ada maksud. Aku hanya mau mengatakan pernahkah kau jatuh cinta?”

Aku ragu menjawab.

“Aku tahu kau mencintai seseorang. Ya, hidup ini memang tidak berpihak. Kita senasib. Aku harus kawin dengan orang yang tidak kucintai.”

Kupandangi Maulida, lama. Mencoba menerka bilik hatinya yang redup. Ia memberikan isyarat yang tidak kutemukan muaranya.

Aku mattinjak, bernazar selama tiga hari tiga malam untuk bersedia diperlakukan seperti mayat, dimandikan dan dikafani. Kemudian disemayamkan di rakkeang, loteng bagian depan bola arajang. Sebuah guci berisi air doa menggantung di atasku, yang akan dipecahkan nanti setelah malam ketiga sebagai wujud pengesahan. Atap rumah terbuka hingga penglihatanku tembus ke langit penuh bintang gemintang. Aku mati suri. Di bawah sana iringan musik sakral terus dibunyikan.

***

Apakah ini mimpi? Aku melihat seorang gadis berjalan dalam gelap mengikuti lentera yang ada di hatinya. Melangkah hati-hati seperti berharap tak ada telinga yang terusik atau mata yang terjaga. Mendatangiku yang sedang diterpa kemuliaan cahaya bulan, untuk memenuhi hajatnya. Lalu aku mengendus bau betina jarak tiga ayunan kaki sampai aku tersadar kafanku koyak. Aku bugil. Nafsu binal menggerayangi tubuhku. Ia menggeledah hasratku hingga aku berahi.

“Apa yang kaulakukan?”

“Aku mencintaimu. Aku rela makhotaku kau renggut. Akan kutanam benihmu di rahimku.”

“Kau gila!”

Ia tertawa geli.

“Sangkala, kau tak sebanci yang kukira.”

Ia melesat pergi ibarat angin lalu mengabarkan berita. Menciptakan prahara, guncangan yang terlalu hebat. Kuambil satu keputusan, angkat kaki dari kehidupan ini.

***

Tuhan, inikah takdirku? Menorehkan sejarah untuk dijadikan pelajaran agar nanti manusia tidak melakukan kesalahan yang sama atau sebagai peringatan? Tak ada gema suara Tuhan membalas. Namun, burung Alo yang hinggap dan bertengger angkuh di pohon bertuah tepat di atasku menjadi jawaban. Burung langka itu yang tidak sembarang orang melihatnya menimbulkan firasat di benakku.

Telah habis kususuri hutan. Tibalah aku di padang ilalang yang bergoyang disapu angin seperti orang tarekat. Sekilas mataku menangkap ada anoa berjingkrak riang, berlari-lari lincah bagai rusa dikejar macan. Di ujung sana sungai Segeri mengalir deras. Aku berjalan terlunta-lunta menerobosi ilalang laksana musafir yang kehausan. Langit tetap biru berawan. Matahari mendaki puncak. Bukit-bukit membatu.

Kutanggalkan pakaian lalu berendam. Riak air sungai menyergap kulitku. Menjernihkan sukma. Di kejauhan, sayup-sayup kudengar suara azan mendayu-dayu lantang menyentuh nurani. Masjid itu terlihat menyembul di balik pohon rimba mirip semak-semak. Aku sempat mendalami ilmu agama di sana. Tapi aku tak betah. Para santri sering menghujatku; kaum Luth yang dilaknat Allah! Pedih. Mungkin perih. Salahkah wajahku yang rupawan tapi cantik? Suaraku yang unik? Atau gerakanku yang kemayu? Bukankah itu pemberian-Mu juga? Ah, sepertinya kebahagiaan tak pernah berpihak padaku. Aku tidak diterima di mana pun. Lebih baik aku....

“Celaka! Sala dewi.”

“Bunuh saja!”

“Jangan, kita nikmati dulu.”

Entah dari mana datangnya, tiga orang pemuda menghampiriku, menyeringai bengis. Aku tak bisa apa-apa. Berteriak pun siapa yang mau dengar?

“Mari kita bermain-main, sayang....”

Mereka menceburkan diriku berkali-kali membuat aku megap-megap, kehilangan napas. Mencemariku beramai-ramai, berganti-gantian tak puas-puas. Lalu dengan keji, aku dikebiri seperti seorang kasim. Air keruh berubah warna merah. Mereka kabur saat melihat makhluk bersisik mendekat.

“Buaya!”

Aku terjepit dilema. Tak ada pilihan. Mulut hewan itu sudah menganga. Gigi taringnya menerkam dan mencabik-cabik tubuhku menjadi remah-remah daging. Tuhan, masih bisa kulihat nama-Mu menjulang ke langit. Setitik cahaya di kalbuku bermukim di bukit itu.

***

Hampir dua bulan kemudian.

Ditemukan mayat mengambang di tengah laut, menggembung, membusuk, dan tinggal separuh. Semua warga bertanya-tanya tentang perbuatan kotor apakah yang dilakukan jasad itu semasa hidupnya?

“Anak kita jadi tumbal atas dosa yang pernah kita perbuat,” kata Mak Rappe terisak, terkulai di pundak Puang Matoa Rala selesai upacara nilabuang, menenggelamkan jenasah ke dasar laut. Hati berkabung dibelai duka.

Sementara itu, di sebuah rumah panggung, seorang perempuan duduk di muka jendela menggeraikan rambutnya. Termangu, mata nanar memandang di luar sana. Tak lama berselang, senyum penuh luka tersungging di bibirnya. Ia mengusap-usap perutnya yang berisi janin.

“Ana beang....”

Daftar istilah

Dewata: para Dewa.
Calabai: asal kata sala baine, bukan perempuan; Waria.
Bissu: pendeta agama bugis kuno pra islam, kebanyakan waria atau putri bangsawan
Lego-lego: beranda rumah panggung.
Sanro: dukun
Puang Matoa: ketua bissu
Puang Lolo: wakil ketua bissu
Datu patoto: Sang Penentu Takdir
Bola arajang: rumah penyimpangan pusaka kerajaan, tempat tinggal bissu.
Basa torilangi: bahasa yang digunakan para bissu untuk berkomunikasi dengan Dewa
Batara guru: nenek moyang orang bugis
Toboto: kekasih bissu sesama jenis
Cenning rara: aura kecantikan.
Lette: petir
Pagenrang: penabuh gendang
Jennang: beberapa wanita tua bukan bissu yang mengatur rumah tangga rumah pusaka
Panati: seorang wanita yang mengatur tata upacara adat
Minyak bauk: minyak wangi berwarna merah
Tana bangkala: tanah suci tempat awal turunnya nenek moyang orang bugis
Sokko patanrupa: beras ketan empat warna, merah, kuning, hitam, putih
Anoa: sapi kecil khas sulawesi
Sala dewi: bukan dewi

Titin Baridin

Cerpen Riza Almanfaluthi

“Brak!” suara berat dari pintu lapuk yang didorong paksa terdengar. Begitu nyaring bagi si pemuda bermuka pucat yang sedang duduk di sudut dipan dengan memeluk kedua kakinya rapat-rapat. Mukanya hampir-hampir menelan lahap lututnya. Sarung yang menggulung dirinya tak mampu membuatnya terpisahkan dari dunia nyata. Buktinya ia masih saja mendengar suara pintu itu. Pula suara dari janda tua yang telah renta dengan bau tanah yang cukup menyengat. Miminya.


“Baridin! Baridin! Sudah tiga hari kau masih saja melamun. Apa sih Cung yang kau pikirkan?” Miminya bertanya sambil menengok ke sekeliling ruangan kamar yang begitu berantakan, gelap, dan suram. Sesuram keduanya yang masih saja terjerat dengan kemiskinan absolut sejak bapaknya Baridin yang juragan beras kaya raya jatuh bangkrut sepuluh tahun lalu gara-gara ditipu teman bisnisnya. Setelah itu, bapaknya Baridin mati mengenaskan dengan perut membuncit, darah segar keluar dari mulutnya yang terbuka menganga, mata melotot mendelik ke atas. Bisik-bisik tetangga mampir ke telinga mereka, bapaknya Baridin mati disantet musuhnya.

Kehidupan berubah seratus delapan puluh derajat. Rumah mewahnya dijual. Sawah, pekarangan pun mengalami nasib yang sama. Emasnya digadaikan yang pada akhirnya tak sanggup untuk ditebus. Dari hasil gadaian itu sebagian untuk menutupi semua hutangnya. Sebagian lainnya dibelikan gubug reot yang berada di sisi kuburan seberang kali.

Miminya cuma menjadi tukang cuci. Ia, Baridin, dengan keterpaksaan hanya sanggup jadi kuli panggul di pasar desa. Ia menerima nasib yang digariskan di telapak tangannya. Walaupun awalnya ia tak mau meminggul nasib itu. Tapi apa boleh buat perutnya tidak sanggup untuk bertahan menahan lapar. Sejak saat itu pula Baridin menyendiri bahkan pada miminya. Tertutup dari dunia pergaulan dengan pemuda-pemuda sebayanya. Setiap hari bangun pagi, pergi ke pasar, siang pulang, lalu tidur.

“Cung, ayo kerja sana, beras kita sudah mau habis,” miminya berkata sambil meletakkan piring seng berisi bubur di dekatnya. Tidak ada jawaban. Wanita tua itu cuma menghela nafas dan segera keluar dari kamar.

“Baridin mau kawin, Mi.”
Langkah wanita itu terhenti. Segera ia menoleh saat mendengar suara yang baru didengarnya lagi sejak tiga hari lalu itu. Terlihat wajah anaknya mendongak menatap dirinya. Ada selubung harap memenuhi wajahnya yang menghitam terbakar merah matahari. Kembali miminya duduk di sudut lain dari dipan itu.

“Dengan siapa?” hanya itu yang terlintas dalam pikirannya untuk menjadi sebuah awal dari rerimbunan pertanyaannya.
“Titin.”

“Anak Juragan Saeni itu?” tanyanya lagi sambil membayangkan raut wajah gadis yang menjadi kembang desa. Terlihat gerakan kepala ke bawah berulangkali dari anaknya, mengiyakan.

“Mimi cepat saja melamarnya, sekarang juga,” sebuah permintaan yang menyentak.
“Apa Baridin enggak mikir kita ini siapa? Juragan Saeni itu siapa? Juragan tanah, Baridin, juragan tanah. Kita cuma debu bahkan kotoran untuk keluarga mereka.”

“Tidak, pokoknya Mimi lamar dulu saja sekarang. Baridin sudah tidak tahan dengan semuanya.” Baridin tahu dirinya sedang dalam puncak kerinduan. Kerinduan yang ia tahan-tahan selama sebulan ini. Kerinduan yang muncul sejak pertama kali ia melihat sosok perempuan yang teramat cantik bagi dirinya. Menggoda naluri kelaki-lakiannya. Sangat, sangat menggoda.

“Kang, siapa tuh Kang? tanyanya pada Talib, seniornya. Yang ditanya sampai kaget karena biasanya anak ini tidak berkata sepatah katapun kalau memang tidak perlu untuk dirinya berkata pada dunia. “Itu Titin, anak orang paling kaya di desa ini. Dia baru saja datang dari Dermayu ikut ibunya, sekarang ia kembali ke bapaknya. Semua istri muda juragan pelit itu tidak bisa punya anak.”

Berhari-hari Baridin cuma bisa memandang Titin dari kejauhan. Ada sebongkah rasa melesak dari dasar jurang hatinya. Dengan harapan yang semakin melangit. Dan ia terpaksa jatuh ke lembah kenelangsaan tiada berdasar saat tiga hari lalu itu ia menyapa TItin.

“Nok Titin, ayu temen sira Nok.”
Yang diterimanya hanyalah pandangan jijik, “cuih…!”. Lesatan air kental keluar dari mulut Titin. Tidak ke muka Baridin yang setengahnya berwarna merah karena tanda lahir, tapi ke tanah. Tapi itu sudah cukup dimengerti Baridin. Ia mundur. Tapi tetap dengan lenguhan, “Nok Titin, ayu temen sira Nok.”

Nelangsa yang menjadi sengsara. Mengurung diri di kamar tak berjendela, tiga hari tak ke pasar membuatnya semakin menderita. Mulutnya terkunci kepada siapa-siapa. Bahkan sebongkah otak di kepalanya tidak sanggup untuk memikirkan yang lain, cuma Titin satu-satunya.

“Baridin tidak kasihan sama Mimi? Isin cung…isin,” pipi miminya terlihat menganak sungai dengan air mata. “Kita itu orang belih gableg. Seharusnya tak perlu mikir macam-macam. Duitnya mana lagi buat lamaran.”
“Sarung Baridin saja,” setelah itu Baridin tidak berkata-kata lagi. Kembali ia mengurung dirinya di balik sarung. Ia nyaman di sana, karena itu hanya dunia satu-satunya yang dimilikinya.

*

Persangkaannya tepat. Lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Juragan Saeni. Sarung anaknya yang dijadikan barang seserahan dilempar ke kakinya. “Berkaca Bu. Tidak pantas untuk si Titin. Terus mau dikasih makan apa si Titin? Kalau saja suamimu masih hidup saya pasti akan menertawakannya. Najis!”

“Anakmu jelek minta ampun,” ucap Titin meningkahi.
Sang mimi pulang dengan membawa kehinaan. Herannya ia mau-mau saja memenuhi permintaan Baridin untuk melamar Titin. Tapi ia tak tega melihat kondisi anaknya yang sudah sepekan ini berpesta dengan kesenyapan.

Baridin hanya diam mendengar semua cerita miminya. Isak tangisnya menjadi soundtrack yang memilukan. Tiba-tiba Baridin bangkit. Segera ia makan dengan lahap bubur yang sedari pagi ia belum sentuh. Lalu tanpa menengok pada miminya ia pergi begitu saja dengan sarungnya yang tak sempat terberikan pada pujaan hati.

“Baridin! Baridin! Kemana kau Cung?” teriak sang mimi. Tidak terjawab. Cuma lenguhan, “Nok Titin, ayu temen sira Nok.”

Baridin bergegas pergi ke sebuah bangunan tua jauh dari desanya. Di dalamnya terdapat Makam Ki Buyut Leluhur. Ada makam-makam lainnya yang terletak di luar. Beringin besar dan kokoh menjadi kanopi yang melindungi komplek makam kecil itu dari terpaan sinar matahari.

Baridin berniat untuk menuntaskan tekadnya agar tidak sekadar menjadi lenguhan tapi memiliki sepenuhnya diri Titin. Untuk itu ia akan puasa tiga hari tiga malam. Tanpa makan tanpa minum. Sebelumnya ia mandi di sungai kecil di belakang. Cukup dengan kembang pohon mangga yang berjatuhan di pinggir kali sebagai syarat ritualnya.
Lalu tepat jam satu malam, sambil menghadap ke arah rumah Titin dan membayangkan wajahnya ia berucap mantera:

Teka idep, teka madep. Teka pangleng, teka puyeng, teka welas, teka asih. Laking pangkon ingsun. Duduh ngejok-ngejok bumi. Ngejok hatine Titin. Nyen lagi turu. Gageh Tangiah. Nyen wis tangi, madep maring badan ingsun.


Baridin gemetar. Jaran guyang pun berputar. Sangat ritmis. Seirama dengan Titin yang tiba-tiba terbangun dari tidur. “Arghhhhh…” teriak Titin gemetar. Tubuhnya basah dengan keringat dingin. Dalam mimpi tubuhnya limbung terseret putaran arus deras air sungai. Tangannya menggapai-gapai permukaan. Tapi ia tak sanggup untuk melawan. Semakin menjauh dan tenggelam. Ada tarikan kuat dari dasarnya.

Keesokan pagi, seisi rumah Juragan Saeni heboh. Titin tidak terbangun dari ranjangnya. Bukan karena tak mau tapi ia tak sanggup. Tubuhnya lemas lunglai. Wajahnya pucat. Dari mulutnya terdengar ceracau tidak jelas, tapi sempat terucap nama seseorang. Ceracau itu berhenti saat maghrib jelang. Cukup memberikan waktu kepada penghuni rumah itu untuk beristirahat menjaga Titin.

Tapi, jam satu malam, kembali Titin tersentak. Terbangun duduk. Gemetar. Ia meningkahi suara Tokek yang terdengar satu-satu.

“Tokek!” suara pertama dari reptil itu membahana.
“Kang Baridin ganteng.”
“Tokek!”
“Kang Baridin sayang.”
“Tokek!”
“Tunggu Nok, Kang!”

Paginya, seiisi rumah terkejut karena Titin sanggup untuk bangun. Tapi bangun hanya untuk mondar mandir antara dapur dan teras rumahnya yang besar. Kadang berjalan pelan, kadang setengah berlari. Mulutnya tetap menyeracau. Dukun yang datang ke rumah mereka memastikan Titin kena gendam yang amat kuat.

Pada malam yang ketiga. Titin kembali terbangun dengan gemetar. Tidak lagi duduk. Kini ia langsung bangkit dengan mata terbuka lebar.. Salah satu kakinya menjejak-jejakan tanah seperti kuda betina yang sedang birahi. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar suara ringkikan. Panjang.

“Kang Baridin…! Kang Baridiiiiiin….!” teriaknya kencang. Ia tendang pintu kamar kuat-kuat. Beberapa orang yang berusaha untuk menenangkan dirinya tak mampu untuk menahan kekuatan dahsyat yang ada pada diri Titin. Ia bagaikan banteng ketaton. Meronta, memukul, dan menendang kesana-kemari. Lalu ia berhasil lari keluar rumah menerobos gelapnya malam. “Kang Baridin, tunggu Nok Titin, Kang!” teriaknya. Sambil meringkik.

Satu desa geger. Semalaman tidur mereka terganggu. Jalanan dipenuhi tawa mengerikan dan sedu sedan menyayat menuju batas desa. Desa sebelah pun geger. Ada perempuan baru meringkik terus menerus menuju ujung desa ditingkahi lengkingan yang samar, “Kang Baridin, Nok Titin sayang sama Kakang.”

Desa sebelahnya lagi geger pula. Berita tentang perempuan yang tetap dengan ceracauannya, tetap dengan ringkikannya, lebih dulu sampai ke warga desa daripada raga Titin. Bahkan beritanya menjadi lebih dahsyat, perempuan berwajah kuda. Mereka berbaris di pinggir jalan hanya untuk melihat tingkah gadis desa yang dulunya terkenal kemana-mana karena kecantikannya yang luar biasa itu.

Tapi mereka kecewa saat melihat Titin datang. Pengharapan mereka melihat sesuatu yang mengejutkan dan mengerikan tak terwujud. Muka Titin tidak muka kuda, tapi suara yang keluar dari mulutnya itulah yang mirip kuda.

Titin tetap berlari. Meringkik. Menyeracau. Dan mereka mengikuti Titin sampai ujung desa. Tiba-tiba Titin berhenti. Warga pun ikut berhenti, menunggu apa yang akan dilakukan olehnya. Titin berbelok ke kanan melalui jalan setapak penuh belukar. Kini warga urung mengikutinya, karena tahu Titin sedang menuju ke komplek makam angker. Tak ada yang berani ke sana selama bertahun-tahun.

“Kang Baridin...!” teriak Titin sambil meraup tubuh pemuda yang tergeletak lemah di sudut bangunan makam. Masih ada nafas satu-satu. Matanya membuka. Menatap Titin lekat-lekat. Ia menguatkan diri untuk berkata: “Nok Titin ayu temen sira Nok.”

“Kang Baridin, Titin cinta sama Kang Baridin. Titin rindu. Titin mau dikawin sama Kang Baridin. Titin tidak mau ditinggal Kakang. Titin sayaaaaaaaang sekali sama Kang Baridin,” suaranya keluar tak mampu berhenti, tapi kini dengan tangis dan tawa yang meledak bergantian.

Baridin tersenyum. Ringkikan Titin seperti nyanyian merdu ditelinganya. Mati pun ia tak penasaran, walaupun bayang-bayang neraka sudah memberatkan mata . Dan Izrail sudah marah hendak merenggut sisa-sisa kehidupannya. Bahkan saat Juragan Saeni datang mendekat menghunjamkan keris di dadanya, Baridin tersenyum. Tapi senyum itu bagi Juragan Saeni adalah seringai bapaknya Baridin yang ia santet dulu. Bengis penuh kemenangan.

*


Keterangan Bahasa Cirebon:
Cung : Panggilan kepada anak laki-laki
Nok : Panggilan kepada gadis/anak perempuan
Mimi : Ibu
Temen : sekali/sangat
Belih gableg : Tidak berpunya
Isin : Malu




Dedaunan di Ranting Cemara
Pabuaran, 26 Juli 2007

Rindu Berlumpur

Minggu, 17 Januari 2010

Cerpen Hafi Zha
Dimuat di Annida

Hidup seperti putaran waktu yang terus berdetak maju. Tiap yang telah dilewati tak bisa untuk disinggahi kembali. Sekedar membetulkan apa yang keliru atau pun menghapus yang tidak ingin dilanjutkan. Hidup akan terus berjalan hingga waktu berhenti berdetak. Detak yang sangat dekat. Sedekat nafas yang kita hirup dan hembuskan seiring aliran darah dalam tubuh kita. Membawa bulir-bulir oksigen untuk menggantikan noktah-noktah karbondioksida. Seterusnya, tubuh kita akan kembali punya mampu untuk berpikir, berjalan, tertawa, sedih, marah, dan kecewa.

Ah..., pikiranku melantur lagi. Selalu saja seperti ini. Buku yang kubuka ternyata tak bisa mengalihkan perhatianku. Kuedarkan pandangan menembus kaca yang tersiram basah hujan. Di luar sana langit belum juga berhenti menjatuhkan bilah-bilah air. Mereka berkejar-kejaran turun dari langit, membasahi tanah. Beberapa anak berlari-larian di bawah mereka. Wajah mereka riang. Sambil bersenandung, mereka berkecipak-kecipak dengan tangan terangkat ke atas. Seperti para penari yang menarikan tarian hujan menyambut kedatangan dewi hujan, pembawa kesuburan kepada para petani. Kuperhatikan ada bayangan wajah orang di kaca yang berembun. Dia tersenyum sembari memiringkan kepalanya yang berbalut kain putih ke kanan. Manis sekali senyumnya. Hei, itu kan aku!

Aku memukul-mukul kepalaku. Mencoba bercanda dengan diriku yang belakangan hari terlalu kaku dengan urat saraf yang tegang. Betapa tidak, aku menghadapi masalah keuangan yang pelik. Walaupun aku masih berstatus tanggungan orang tua, tapi aku berusaha melepaskan diri dari kungkungan mereka. Itu kulakukan sejak aku kuliah. Aku memberikan bimbingan belajar sehabis aku menuntut ilmu. Kesukaanku terhadap dunia menulis ternyata mampu membantuku untuk menutupi pengeluaranku yang lumayan besar di kota metropolitan ini. Tetapi, saat ini setelah aku menyelesaikan sarjana kependidikanku, ternyata cobaan tak semakin berkurang. Bukan hanya keuangan yang kembang kempis, tapi juga sikap kedua orang tua yang menginginkanku kembali.

“Kenapa kamu tak ingin kembali ke kampungmu, Lita?”
Suara ibu yang semakin renta menghentakku jauh ke dalam lorong jiwa. Suaraku tercekat di kerongkongan. Otakku berputar keras mencari jawaban atas pertanyaan ibu. Kebisuanku memecah tatkala kudengar ibu memanggil-manggil namaku.

“Lita…Lita…kamu masih mendengar suara ibu?”
“Eh, iya, Bu. Masih mendengar.”

Aku menelan ludah. Membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba terasa kering. Begitu kuatnya kah wibawa seorang ibu hingga anaknya tak bisa berkata apa-apa, sekedar menjawab pertanyaannya.

“Lita, kamu kok diam lagi. Ada apa sebenarnya di sana, yang membuatmu tak ingin kembali ke sini?”

“Bu…” Terdengar aneh rasanya suaraku. Kuusahakan bersikap dan bersuara wajar. Aku tak ingin ketegangan kembali terjadi antara aku dan ibu. “Bu, Lita ingin berkarir di sini dulu. Bukannya apa-apa, tapi Lita merasa sudah menjadi bagian dari kota ini. Lita merasa nyaman di sini.”

“Jadi, kamu merasa asing di kota kelahiranmu sendiri. Merasa tidak nyaman di sini, Lita? Ibu tidak mengerti bagaimana cara berpikirmu. Tidak mengerti, Lita!”

Suara ibu meninggi. Penanda awal ketegangan. Aku harus segera meredakannya. Jika tidak ini seperti angin panas yang sedikit demi sedikit akan membakar diriku.

“Bu, kelak saya akan kembali ke sana. Saya mohon kepada ibu untuk memberikan saya kesempatan mengukir karir di sini. Saya ingin sukses, seperti yang ibu harapkan. Saya tidak ingin mengecewakan ibu.”

Memang, aku tidak ingin membuat kecewa ibu dan bapak. Mereka sudah bersusah payah menyekolahkan aku hingga mencapai sarjana. Dan aku juga tahu keinginan ibu yang begitu kuat untuk melihatku menjadi pegawai negeri. Ibu memang besar di lingkungan pegawai negeri. Hingga sekarang pun ibu masih setia dengan kepegawaian-negerinya. Menurut ibu, jika menjadi pegawai negeri hidup terjamin. Jaminan itu akan terus mengucur hingga anak cucu. Beda dengan bapak yang memberiku kesempatan penuh untuk menentukan jalan hidup. Bapak bukanlah pegawai negeri. Beliau hanya penjahit baju dan sesekali memberikan ceramah di pengajian.

“Tapi setidaknya kamu pulang dulu, Lita. Semenjak kamu diwisuda empat bulan yang lalu, kamu belum juga pulang. Biar kamu juga tahu kondisi kampung kita sekarang. Di sini banyak sekolah yang butuh guru. Ibu bisa carikan dari kenalan ibu di sekolah-sekolah biar kamu bisa mengajar.”

Ini dia pernyataan ibu yang keluar berkali-kali untuk membujukku pulang. Kemudahan yang didapat ibu dengan mempunyai banyak kenalan di berbagai instansi, memberikan peluang besar untuk ibu mencarikan kerja instant untukku.

“Bu, saya belum bisa pulang sekarang. Masih ada urusan yang belum selesai. Saya juga masih punya proyek dengan dosen saya yang belum bisa ditinggal. Jika di sini sudah beres, saya akan segera pulang.”

Itulah percakapan semalam tadi. Ibu masih bersikukuh dengan keinginannya. Aku harus pulang dan bekerja di sana. Tiba-tiba aku merasa letih. Sepertinya bulir-bulir oksigen semakin berkurang dalam otak dan tubuhku. Kantuk tak dapat kutahan, apalagi suasana dingin seperti ini nyaman untuk tidur.

***

“Sebaiknya kamu pulang dulu, Lita. Kamu utarakan dengan baik keinginanmu kepada ibu dan bapakmu.”

Pak Yudi memberikan saran yang berat untukku. Beliulah yang memberikanku kesempatan yang lebih untuk mengembangkan kemampuan menulisku. Proyek buku ajar dan segala macamnya juga beliau yang memberikan. Apalagi saat ini aku sudah bisa mengajar di sekolah lanjutan atas favorit di kota ini, juga berkat beliau. Semua hal itu jadi bagian dari banyak alasan yang mengharuskanku untuk bisa terus di sini. Dan tak ada alasan untuk aku harus segera pulang. Apalagi menghadapi ibu dengan keteguhan pendiriannya. Bapak juga tidak bisa berbuat apa-apa jika ibu sudah berkehendak.

“Pak, jujur saya katakan dari dalam hati belum tergerak untuk pulang. Di sini saya bisa berkembang, Pak. Jika di kampung saya merasa tidak terfasilitasi.”

Pak Yudi memandangku dari balik kacamatanya yang bertengger di batang hidungnya. Kualihkan pandanganku ke rak buku di belakang beliau. Mataku memang tertuju ke sana, tapi pikiranku berkhayal. Andai saja orang tuaku adalah Pak Yudi dan istrinya, mungkin aku akan lebih terarah dan berkembang lebih awal. Kulihat foto keluarga Pak Yudi yang ada di rak buku itu. Dua putrinya, Mbak Yuli dan Mbak Yuni, yang berdiri di belakang Pak Yudi dan istrinya tersenyum manis. Mereka hampir seumuran denganku tapi mereka lebih dulu bisa merasakan kesuksesan sekolah di negeri orang.

“Lita, saya ingin bertanya dan kamu jawab sejujurnya.”
Lamunanku memudar. Kembali aku bersitatap dengan Pak Yudi. Wajah beliau serius, tampak dari dahinya yang berkerut. Selalu Pak Yudi berusaha membantuku memecahkan segala masalah yang kadang aku ceritakan. Sikap terbuka seperti ini tak bisa kulakukan kepada kedua orang tuaku. Semacam ada tembok kebekuan jika aku bersama ibu dan bapak.

“Tentang apa, Pak?”
“Apa kamu tidak merindukan kedua orang tuamu?”

Deg.
Jantungku serasa berhenti. Aku tidak menyangka Pak Yudi akan mengunci mulutku dengan pertanyaan ini. Aku teringat pembicaraanku dengan Avi seminggu yang lalu. Saat itu ia begitu gembiranya karena ingin pulang kampung setelah sebulan tidak bertemu dengan keluarganya.

“Mbak Lita, aku pulang…. Akhirnya aku terbebas dari tumpukan diktat kuliah. Aku rindu ayah, rindu mama, rindu semuanya. Mbak Lita tidak ingin pulang?”

Kegembiraannya meluap membanjiri diriku. Seketika dia bertanya seperti itu, aku terhempas dalam bisu.

“Belum waktunya pulang, Vi. Lagipula tidak ada alasan yang sangat kuat untuk aku pulang.”

“Sekedar rindu pada orang tua Mbak?”
Rindu? Satu kata itu terus menghantuiku hingga hari ini. Aku tak bisa jujur pada orang lain bahwa tak ada rindu setitik pun dalam hatiku pada kampung halamanku, pada orang tuaku. Aku berusaha untuk menumbuhkan rindu itu sejak Avi bertanya hal itu kepadaku. Semakin aku berusaha, semakin aku tak ingin pulang. Dan saat ini, Pak Yudi menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan Avi.

“Lita, kenapa kamu diam seribu bahasa? Kamu rindu ibu bapak?”
“Begini, Pak. Kerinduan itu mungkin ada, Pak. Tapi jika kerinduan itu bisa disalurkan ke hal yang lebih bermanfaat di sini, mengapa harus bersusah-susah pulang. Saya kira jika saya di sini untuk sementara waktu tentunya akan lebih baik. Dari pada saya harus memaksakan diri untuk pulang. Apalagi dalam kondisi saya yang masih tidak ingin menghadapi ibu saya, Pak.”

Entah apa yang ada dalam pikiran Pak Yudi ketika aku berujar tadi. Selama aku berbicara tadi, kepala beliau manggut-manggut. Mungkin berusaha mencerna kata demi kata yang keluar dari mulutku. Aku sudah tak dapat berkonsentrasi berdiskusi proyek buku ajar di Rumah Pak Yudi. Dengan penuh pengertian, Pak Yudi mengantarkanku hingga gerbang pintu halaman rumah beliau. Sore itu tampak kelabu di mataku. Bukan karena gerimis yang tiba-tiba menghias alam, tapi karena jauh dalam hatiku awan kelabu bersetia mengirimkan gerimisnya ke telaga mataku.

***

Sebulan telah berlalu sejak ibu memintaku untuk pulang. Di luar tampak berjalan lancar dan seperti tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, ada gelombang yang mengirimkan badai ke dalam jiwaku. Ia terus menghantam karang-karang yang perlahan-lahan rapuh lalu hancur. Aku bersusah payah membangunnya kembali agar tampak tegar . Apalagi hal ini kubutuhkan untuk bertahan di kota besar ini. Kota yang penuh persaingan dan rentan akan stres. Tak ada lagi kabar yang kuterima dari rumah. Aku juga tak ingin lebih dulu menghubungi rumah.

Hari-hari kujalani dengan sangat lambat. Kesunyian menyergapku, apalagi Avi, gadis manis yang selalu ceria menghiburku, tak ada lagi di dekatku. Ia pergi bersama mimpinya yang telah terwujud menjadi pengantin kecil.

Kusibukkan diri dengan aktivitas mengajarku, menulis buku, dan melatih drama. Di sel-sela gerimis September aku berlari menghindar senyap yang mengurungku. Setiba di kamar kosku, aku mengambil diary usang yang kutulis sejak aku duduk di bangku sekolah pertama. Entah dorongan dari mana aku tiba-tiba ingin membacanya kembali. Kubuka satu persatu halaman yang warnanya tak seputih dulu. Seolah luka lama yang kembali luka, begitu perih dan pedih.

“Kamu jangan jadi wanita pemalas, Lita. Jangan jadi wanita lemah. Sakit yang kamu rasa belum seberapa dibanding sakit yang ibu rasakan ketika melahirkanmu. Ayo, berangkat sekolah! Kamu tahu ibu bekerja keras supaya kam bisa sekolah. Bapakmu tidak bisa membiayai hidup kita hanya dengan menjahit.”

“Tapi, Bu, Lita lemas, pusing. Lita tidak kuat berangkat sekolah, Bu. Lita mohon, Bu, tuliskan surat ijin untuk Lita.”

“Kamu jangan lemah begitu. Kamu harus menghargai biaya yang sudah ibu keluarkan untuk sekolah kamu. Jangan pernah kalah dengan sakit.”

Akhirnya, aku pun berangkat sekolah dengan kondisi badan yang lemah. Ibu berusaha menguatkan aku, sedangkan bapak hanya diam di ruangan jahitnya. Aku tidak menangis. Juga tidak membangkang. Aku turuti semua yang ibu inginkan. Seperti yang ibu katakan ketika malam hari aku hendak menuliskan kejadian hari ini.

“Kamu harus rajin belajar. Jangan pernah menyerah pada keadaan. Ibu berusaha keras supaya kamu nanti bisa kuliah. Kelak, setelah kuliah kau harus berupaya untuk bisa dapat kerja. Jangan pernah pulang jika kamu belum berhasil membanggakan dirimu, juga orang tuamu. Jangan lemah terhadap perasaan. Ingat itu, Lita, ingat baik-baik pesan ibu.”

Kuhapus air mata yang tak sadar telah membasahi kedua pipi. Kertas halaman buku yang kubaca basah, memudarkan tinta yang tergores di sana. Aku tak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Mungkin aku tak sekuat yang ibu minta sewaktu dulu. Mungkin juga aku terlalu keras dan kuat untuk bisa berdiri sendiri, tanpa butuh orang lain. Aku terisak di antara deras hujan yang menghantam atap kamar, sehingga menenggelamkan suara tangisku. Aku tak mau ada yang tahu aku telah membuat sungai air mata di bawah hujan September. Aku tak akan beranjak sebelum noktah-noktah karbondioksida dalam tubuhku berganti menjadi bulir-bulir oksigen. Hingga tubuhku benar-benar kuat. Dan aku bisa menjalani putaran waktuku yang masih berdetak.

***

Harimau Siluman

Cerpen anggih Waluyo

Angin malam berhembus pelan, rintik hujan dari sore hari belum juga berhenti. Suasana kampung Pulo malam itu begitu hening, hanya sesekali terdengar lolongan anjing yang bersahut-sahutan. Dari kejauhan nampak ada satu rumah penduduk yang kelihatan terang, beberapa lampu Petromak memerangi sampai emperan rumah itu.

Nampak puluhan orang duduk-duduk di atas gelaran tikar sambil bermain kartu, ada yang hanya berbincang-bincang sambil minum teh dan hidangan yang telah disiapkan.
Rumah tersebut adalah rumah Mbah Joyo yang baru saja meninggal siang tadi. Mbah Joyo adalah seorang sesepuh yang dianggap sebagai “juru kunci” Kampung Pulo. Dan menjadi sebuah tradisi jika ada yang meninggal dunia, maka kewajiban para tetangganya adalah lek-lek’an (Jawa = berjaga-jaga tidak tidur) selama tiga malam di rumah duka.

Ada mitos bahwa 3 malam setelah seseorang meninggal dunia, ada harimau yang mendatangi bekas tempat pemandian mayat yang kemudian bisa mengambil mayit yang telah dikuburkan setelah harimau itu mencium tanah yang masih basah oleh air pemandian si mayit.

Harimau yang diyakini itu bukan hari mau sembarangan. Harimau siluman atau jadi-jadian. Mitos tersebut sangat kuat di kampung Pulo, walaupun memang selama ini belum pernah terjadi dan ditemukan harimaU siluman itu.

Malam pun semakin larut, rintik hujan sudah mulai reda. Sebagian warga masih ada yang masih bermain kartu domino dan beberapa orang sudah terlelap tidur. “Woi, bangun-bangun…” Teriak Pak Rogo, yang terkenal sebagai murid kesayangan mbah Joyo. “Ya..ya, jawab seorang warga sambil menggeliat tidur lagi.

Namun tiba-tiba,….huk huk huk….huk… Beberapa anjing menggonggong berlari-lari menuju suatu tempat, seolah-olah mengejar sesuatu. Pak Rogo dan beberapa warga pun spontan berlari keluar rumah ingin mencari tahu apa yang terjadi.

Dari kejauhan terdengar keras gonggongan anjing-anjing sambil berlari-lari mengejar sesuatu itu. Wah, jangan-jangan ini harimau siluman itu?” Tegas pak Rogo. “Iya-iya ayo kita dekati”, kata beberapa warga serempak.

“Tunggu sebentar, cegah Pak Rogo yang kemudian bersedekap sambil mulutnya berkomat-kamit membaca sesuatu.

“Ayo, kita usir jauh-jauh harimau itu, syukur-syukur bisa aku tangkap harimau sialan itu”, Ketus pak Rogo dengan bangga.

Tapi belum sempat mereka melangkahkan kaki, suara gerombolan anjing yang sedang mengejar-ngejar sesuatu tadi berlari menuju mereka. Sebagian warga panik dan takut, ada sebagian yang berlari, ada pula yang tetap menghadang bersama Pak Rogo.
Siap-siap hadang harimau itu, bacok atau gebuk saja “komando Pak Rogo”. Sedangkan dia sendiri membawa keris warisan Mbak Joyo.

Semakin dekat binatang yang dikejar anjing-anjing tersebut, semakin gempar suasana malam itu, dan semakin jelaslah binatang di depan gerombolan anjing-ajing yang mengejarnya.

Haaaaaaaaaaaaaahhh !!! Teriak warga serentak. Ternyata binatang tersebut bukan harimau, melainkan seekor kambing jantan coklat milik seorang warga yang terlepas.
Yaaaaaaaaaaah,,, itu mah kambingku !! teriak salah seorang warga. Pak Rogo pun menggelengkan kepala sambil membuang nafas kesalnya. Dan para warga yang berlari tadi akhirnya kembali mendekat, membantu menangkap kambing tersebut sambil tersenyum malu.

Akhir Sebuah Kegelisahan

Kamis, 14 Januari 2010

Cerpen Panggih Waluyo
Sumber: mujahiddesa.blogspot.com

Lelaki itu hanya menundukkan kepala, duduk bersila sambil meletakkan kedua tangannya di atas kakinya yang sedang bersila. Sepuluh jari tangannya semakin erat menyatu seiring derasnya aliran air matanya yang terus menetes membasahi pipi, jenggot dan akhirnya jatuh ke sajadah merah yang sudah nampak tua. sajadah itu ia bawa sepuluh tahun yang lalu dari kampungnya.
Tak ada kata yang terucap selain istighfar, "Astaghfirullah Astaghfirullah…." yang semakin membuat deras air matanya. Dadanya bergemuruh kencang, disaat malam masih pulas tertidur. Lehernya terasa tercekik karena menahan sesenggukan tangis yang belum juga terhenti.
Terbayang di matanya kisah sebulan yang lalu. Saat HPnya dapat beberapa miscall dari seseorang. Dia juga masih teringat sekali, dia membalas misscal tersebut dengan sebuah SMS, "Semoga hati selalu terjaga dalam batas-batas yang Dia tentukan". Dan terbalas lagi, "Loh kenapa mas, kan tidak ada salahnya bersilaturahim, asalkan kita bisa menjaganya".
Di saat itulah hatinya mulai guncang, dan di saat itu pulalah di dalam hatinya selalu berkecamuk peperangan antara iman dan keinginan. Sering terjadi debat dalam batinnya. Iman selalu mengatakan bahwa agar selalu berhati-hati terhadap godaan, tapi keinginan dengan sangat sopan dan santun mengatakan bahwa tidak mengapa bersilaturahmi, karena selama ini jarang bersilaturahmi kepada wanita.
Akhirnya sms itu pun tak dia balas-balas lagi, ia hanya menuruti hati kecilnya, bahwa aku harus berhati-hati, namun dia tetap saja dibayangi saat-saat wanita berkerudung panjang itu datang ke rental tempat kerjanya sekaligus tempat tinggalnya. Ada harapan indah yang terus dijanjikan oleh bisik keinginannya….masyaAllah wanita sholehah katanya.
Waktu terus berjalan, hari berganti hari dan peperangan itu terus berkecamuk dalam hatinya. Hingga di suatu petang, saat dia duduk menyaksikan berita di TV, tiba-tiba…."oi…ada yang nyariin…"!! suara teman dari lantai bawah. Dia pun segera turun, dug….", saat dia turun dia lihat wanita berjilbab panjang yang membuatnya gelisah itu datang bersama seorang laki-laki.
“Ada apa mbak? Tegurnya.
"Mau ngedit ketikan skripsi tempo hari mas, sedikit kok.
“Oh ya…,” kemudian ia membuka file dan segera mengedit apa yang diinginkan wanita tersebut. Dan akhirnya selesai juga dia mengeditnya.
"Piro mas?, sahut lelaki yang menemani wanita tadi.
“Sekalian tumbas minyak wangi itu, sembari menunjuk barisan minyak wangi yang terdapat di atas etalase. "Sebelas ribu mawon mas.". Dan akhirnya terjadi perbincangan sesaat,
"Lha jenengan asli pundi mas? (Kamu asli mana mas?). Kulo asli Wonogiri, saya kakaknya Ambar…perkenalkan Warono. Mendengar Wonogiri jantungnya seakan hilang, pikirannya seakan kosong, kaget dan tidak menyangka sama sekali bahwa ternyata wanita yang selama ini menanamkan kegelisahan itu satu kabupaten dengannya. Dia lalu naik ke lantai atas, mematikan TV lalu berbaring menatap atap bangunan rental yang tampak menua itu……., hitam…namun di situ muncul bayangan…saat orang tuanya berpesan bahwa nanti kalau mencari jodoh kalau bisa orang jawa, syukur-syukur jawa tengah atau dekat dengan Wonogiri. Dia masih saja membaringkan tubuhnya,…
”Ya Allah inikah jodohnya, begitu cepatnya dia datang, padahal aku baru akan Sidang Skripsi…beban ini belum lunas ya Allah….mudahkan jalan ini bila dia jodohku…"hatinya berdoa.
Begitulah perasaannya setelah mengetahui bahwa perempuan itu satu kabupaten dengannya. Kegelisahan itu pun akhirnya bercampur harapan. Setiap wanita itu datang, semakin yakin ia bahwa wanita itu adalah jodohnya. Namun hati kecilnya terus memberontak, tidak mau menerima yang selama ini telah terjadi. Karena selama ini dia telah berinteraksi dengan wanita yang bukan muhrimnya. Dan itu merupakan aibnya yang selama ini ia tutup-tutupi. Padahal di kampus, ia adalah dedengkot rohis. Dan tak jarang ia menegur langsung anggota rohisnya yang agar cair berinteraksi dengan lawan jenis. Lewat tulisan-tulisannya di mading, ia pun sering menuliskan tentang adab pergaulan lawan jenis dalam Islam. Bahkan ada anggota rohis yang sudah tidak aktif lagi gara-gara tidak terima di nasihati agar tidak terlalu cair berinteraksi dengan wanita. Namun apa yang terjadi kini? Dia sendiri pun mengalami terjangkiti virus yang selama ini gencar menyerang para ikhwan.
Hingga akhirnya ia mengadukan kegelisahannya kepada ustadz yang selama ini mengajarinya mengaji. Ia menceritakan panjang lebar tentang kegelisahannya. Dan akhirnya satu pertanyaan yang muncul dari mulutnya
“Tadz, ini anugerah ataukah musibah bagi ana ya?
Ustadznya pun menjawab, “Begini akh…, setiap permasalahan biasanya mengandung dua sisi kebaikan dan keburukannya. Nah…mendengar cerita dari antum, ane berpendapat bahwa hal ini tergantung dari dari bagaimana kita menyikapinya. Menjadi anugerah jika antum segera mempercepat pernikahan, sehingga antum mendapat separuh din dan juga mendapat ketenangan darinya. Lalu juga menjadi bencana ketika antum mencoba bermain-main dengan masalah ini. Artinya jika antum tidak secepatnya menikah, maka dimana ruh materi yang selama ini kita bahas?”
“Ane setuju ustadz, tapi ane baru mau sidang lalu juga belum mendapat pekerjaan yang cukup menurut ane.
“Ya.. itu akhirnya tergantung pada pilihan antum. Ane, memahami perasaan antum, artinya kriteria akhwat yang antum pesan ka ane sudah antum temui, yaitu orang jawa dan sebagainya. Tapi menurut ane sekali lagi, antum perlu ambil jalan yang tegas. Menikah atau tidak, sebenarnya nikah siri pun bisa agar terjaga dari fitnah. Tapi kalau antum belum siap, maka saran ane, secepatnya antum matikan rasa cinta di dalam hati antum. Antum mengerti kan maksud ane?”
“Iya tadz, ane sangat mengerti. Ane akan pikirkan lagi masalah itu.”
Setelah dirasa cukup, maka lelaki itu kemudian mohon pamit pulang.
“Baik Ustadz, sebelumnya syukron atas semua masukannya, ane pamit dulu tadz, mohon doanya. “Assalamu’alaikum……”
Wa’alaikumussalam…”
Dengan wajah muram laki-laki itu melangkahkan kaki meninggalkan rumah usdadznya. Berharap akan mendapat solusi dari ustadnya, namun sekarang malah semakin bingung rasa hatinya. Masih terngiang saran ustadznya, “nikah secepatnya atau matikan rasa cinta itu”. Sepanjang jalan seakan tidak ada yang membuatnya menarik, selain mencari jawaban atas dua pertanyaan : “menikah secepatnya atau mematikan rasa itu?”
Sesampainya di rental, dia langsung menuju lantai atas, hanya sepatah kata salam dan sedikit paksaan senyum ketika melewati teman-teman yang masih ditunggui beberapa konsumen rental. Lalu ia rebahkan tubuhnya, ia memejamkan mata, membayangkan seandainya saat dia sudah bekerja kemudian langsung memutuskan untuk menikah. Lalu tiba-tiba,
“Astaghfirullah…aku sampai lupa, dulu pas kuliah Pak Joko pernah nawarin kerja ya, mungkin aku bisa hubungi dia, jika nanti setelah sidang bisa langsung bekerja di tempatnya”, gumamnya. Pak Joko adalah seorang kontraktor langganannya mengetik surat-surat.
Lalu segera ambil hp, dia tulis sms menanyakan perihal pekerjaan tersebut. Lama sekali tidak dibalas oleh Pak Joko. Tapi tiba-tiba…nada panggil hpnya berbunyi…”Nurkholim”, tertulis nama di HP tersebut. Dia angkat, Halo Assalamu’alaikum pak….
“Wa’alaikum salam, gimana kabar?
“Waduh kabar apa nih…skripsi kan?
“Iya….
“Iya pak…aku tinggal nunggu sidangnya nih…, maklum kampus kita kan nunggu kuota dulu..hehe…
“Wah kebetulan nih….tadi dapat telpon dari Pak Kajur, kita bisa nggak 3 hari lagi Sidang Skripsi.
“Wah InsyaAllah pak…ini juga lagi nunggu-nunggu…perlu dipercepat nih pak.
“Oke berarti kita ada 5 orang yang maju sidang, yang pagi kamu dan yang sore ada 4 satu kelas dengan aku”.
“Oke pak…, jam berapa?”
“Jam 14.00 di Ruang 303, jangan lupa di perbanyak 5 kali ya skripsinya.
“Iya pak ini sudah siap.
“Oke…sampai nanti ya….
“Sip pak…, makasih.
“Sama-sama…Assalamu’alaikum.
“Wa’alaikum salam.
“Alhamdulillah Allahu Akbar…akhirnya aku sidang juga, teriaknya gembira.
Saat yang ditunggu pun tiba, ia bisa melewati sidang skripsi itu walau ada perbaikan-perbaikan. Dia dinyatakan lulus waktu itu juga. Kemudian ia memberi tahu ibu bapaknya di kampung. Betapa gembiranya kedua orang tuanya mendengar kabar itu, tangis bahagia pun mewarnai percakapan mereka.
Lalu setelah itu ia teringat seorang akhwat yang sampai saat ini membuatnya gelisah, dengan memberanikan diri dia menulis sms…”Alhamdulillah saya sudah lulus sidang skripsi…semoga interaksi yang kurang diridhoiNya selama ini segera berakhir …dengan jalan yang suci ya ukhti”
“Alhamdulillah…selamat ya mas….namun saya masih menunggu kabar bab 4 dan bab 5 yang masih dibawa pembimbing materi, mudah-mudahan dipercepat, Amin.”.
Dia balas “Amin”.
Di saat itu berkuranglah sedikit kegelisahannya. Dia terus berdoa dan berharap mendapat pertolongan dari Allah secepatnya.
Benar 2 hari setelah sidang dia ditelepon pak Joko, dan akhirnya dia pun bisa mulai kerja hari itu pula. Namun sebelum bekerja dia berniat pulang ke kampung untuk menemui kedua orang tuanya.

***
Sesampai di kampung, dia disambut haru kedua orang tuanya, menangis bahagia melihat anaknya sudah berhasil menyelesaikan kuliah selama 4 tahun di Jakarta. Tiga hari sudah ia menghirup segarnya udara desa, berjibaku dengan rerumputan juga ikut merasa berpesta di sawah, karena memang sudah waktu panen.

Hingga di suatu malam, usai dia sholat Isya,
"Alhamdulillah ya pak, panen kita melimpah.
Iya, alhamdulillah…padahal dulu sempat hampir mati karena tidak ada hujan. Tapi alhamdulillah, pas hampir mati itu hujan sering turun hingga sekarang.
Iyo le…dulu ibu hampir-hampir putus asa, berdoa nunggu hujan, tapi alhamdulillah Gusti Alloh memang tahu kebutuhan hambaNya.
Nggih…lah bu…janji Gusti pasti ditepati, doa hambaNya pasti dikabulkan.
Iya…le memang betul itu. Oia ngomong-ngomong, kapan kamu mau balik Jakarta, nanti ditunggu sama bosmu lagi. Kalau ibu pinginnya sih kamu agak lama di kampung, lha tapi kan kamu baru mau masuk kerja.
Nggih bu, kemarin ijin 4 hari kok, pak Joko juga bisa memaklumi.
Oh ya sudah kalu begitu.
Setelah hening sesaat….
Pak, bu…
Ya apa le? Jawab bapak ibunya hampir bersamaan.
Anu pak, bu….diam sesaat lagi..
Iya aku tahu, masalah nikah kan? Ibu menjawab dengan nada menerka.
Dugg….ia kaget…, Lho kok ibu tahu? Ia menjadi kelihatan bingung.
"Sebelum sidang kemarin, paklekmu Marjo telepon nanya-nanya kabar kampung, katanya dia minta doa dari saudara-saudara kampung dia mau renovasi rumah. Nah..waktu itu ia bilang bahwa kamu pernah bicara uneg-uneg nikahmu sama dia", jelas Bapaknya.
"Aku sampai dua malam tidak bisa tidur lho le…, hiks, hiks, hikss..," ibunya menimpali sambil menangis.
"Ngapunten bu….maaf
"Bukannya tidak boleh menikah le..ibu hanya khawatir, takut kalau gara-gara kamu sudah mikir untuk nikah kuliahmu jadi berantakan, jadi tidak lulus, kan jadi percuma kamu susah payah kuliah 4 tahun di Jakarta", jelas ibunya lagi sambil menyeka air mata.
Ia hanya diam, di matanya sudah nampak mendung, hatinya merasa salah tak menentu, sembari memaklumi perasaan ibunya yang selama ini terus mendoakan agar dia cepat lulus kuliah.
Bapaknya pun hanya terlihat diam, seperti bingung mau berkata apa. Sementara Iman, adiknya yang paling kecil tak terpengaruh dengan suasana itu, ia masih tetap asyik menonton televisi.
"Mboten kok bu…pak,, sekali lagi mohon maaf, hiks, hiks, hiks…, saya juga tidak mau gagal kuliah, makanya saya berusaha keras untuk cepat menyelesaikan skripsi untuk dapat mengejar dapat kerja, lalu matur ini ke Bapak Ibu.
"Yo wis le, akhirnya bapaknya menyahut.
"Iya, bapak dan ibu sudah sangat bersyukur, kamu sudah lulus, sudah tenang, apalagi kamu sudah langsung dapat bekerja, nanti bapak sama ibu hanya bisa ngasih uang dari jual sapi di belakang rumah itu," jelas ibunya yang mulai tenang.
"MasyaAllah pak, bu…maturnuwun, saya sebenarnya juga berat mengungkapkan ini, tapi..saya tidak mau dan takut banyak dosa, jika tidak segera menikah, saya sudah kenal seorang wanita……
"Iya…paklekmu Marjo juga sudah cerita, alhamdulillah harapan ibu dan bapak agar kamu menikah dengan orang jawa atau sedaerah terpenuhi…" potong ibunya.
"Lalu gimana rencanamu?", Tanya bapaknya sedikit penasaran.
"Begini pak, bu,..sekarang ini kan calon saya juga masih nunggu selesai skripsi, insyaAllah tinggal sebentar lagi.
"Lho belum lulus kuliah?...Ibunya kaget. "Nanti gimana orang tuanya?".
"InsyaAllah tidak apa-apa kok bu..pak, dia juga sudah mencoba memberi pengertian kepada kedua orangtuanya, memberi pemahaman bahwa jika kita terlalu lama berhubungan atau saling kenal, nanti malah jadi musibah, maksud saya pacaran, kan malah membuat dosa dan akibatnya kita jadi menambah dosa bapak ibu juga. Jadi lewat menikah inilah kita ingin jadi anak yang sholeh dan sholehah, berbakti kepada orang tua, karena mencoba menjauhi laranganNya Gusti Allah…dan…hiks..hiks…walaupun sebenarnya saya pingin mencari uang dulu secukupnya, biar bisa ngasih ibu bapak…hiks…hiks…hikss….
"Sudahlah le…sudah…" bapak dan ibunya coba menenangkan.
"Ibu bapakmu gak mengharapkan itu semua kok le, asal anak bisa bahagia dan mapan di Jakarta, ibu bapak sudah seneng kok…, tambah ibunya.
"Gih pak bu…maturnuwun, jadi begini pak bu…mudah-mudahan bulan ini calon saya sudah lulus. Kemudian proses lamaran, lalu untuk akad nikahnya pinginnya sebelum ramadhan, nanti penentuan tanggalnya dirembug waktu lamaran itu. Saya coba ingin sampaikan, agar hajatannya tidak usah mewah-mewahan, yang penting sah agama dan Negara, paling ngundang saudara-saudara dekat dan tetangga…"..kira-kira begitu bu..pak… jelasnya, sambil mengucek matanya yang masih terlihat memerah.
"Ya sudah le…kalau begitu rencanamu, mudah-mudahan tidak ada halangan…dan sehabis menikah pun makin banyak rezekimu,
"Iya…sahut Bapak.
Amin…tutupnya terharu.
Akhirnya, malam saat itu pun kembali menyelimuti bumi dengan kelamnya. Namun tampak ia menuliskan sesuatu di buku hariannya..lalu tersenyum dan terharu mendengarkan percakapan itu.
***

Empat hari sudah ia di kampung, hari terakhir itu suasana hatinya menjadi tak menentu, ada rasa senang, harap untuk segera ke Jakarta, tapi juga ada rasa sedih yang mendalam karena berpisah lagi dengan para kekasih hatinya.
Kebiasaan saling menangis itu pun terulang saat ia berpamitan…
"Bu pak…, saya pamit dulu ya…mohon doanya terus…hiks, hiks..hiks.., ia memeluk bapak ibunya bergantian sambil menangis.
"Iyo le…bapak ibu terus berdoa…ati-ati…
"Sekolah sing pinter ya Man…., dia pamitan sama adiknya.
Assalamu'alaikum….
Waalaikum ssalam….ati-ati le…
Gih…bu…"
Siang itu pun panas mentari menyaksikan keharuan itu…,
Bis jurusan Jakarta yang ditumpanginya terasa berat membawanya ke kota harapan. Dalam perjalanan terbayang percakapan yang sempat di dengar oleh Sang Purnama kemarin malam, tak terasa kedua mata yang masih memerah itu pun belum habis juga mengeluarkan bulir-bulir air bening…menetes, menyatakan keharuan dan harapan. Dilihatnya pepohonan di sepanjang jalan seakan memberi salam perpisahan, "selamat berjuang di sela-sela bangunan tinggi itu saudaraku…".
Tiba-tiba…., tit…tit…tit…tit…, Bunyi Hpnya membuyarkan suasana hatinya. Buru-buru dia rogoh kantong depan celananya, dia ambil hpnya dan mencoba membuka pesan itu….tertulis..dari Ukthi Wng, "Aslkm, mas, alhamdulillah skripsiku sudah di Acc semua…tinggal maju sidang besok hari Kamis".
Ia memejamkan matanya…nampak tersungging senyum, lalu membalasnya, "alhamdulillah..saya dalam perjalanan balik ke Jakarta, mudah-mudahan ini pertanda ridhoNya…"di kirimnya lalu tak lama kemudian terbalas lagi, "Amin".
Dan bis yang ditumpanginya terasa melaju dengan cepatnya…
Secepat harapan di hatinya.


***
Semilir angin malam, masuk perlahan melewati celah jendela kaca nako yang sedikit terbuka, seolah ingin menyeka basah pipi pemuda yang masih terduduk bersila itu…
Allahu Akbar…Allahu…Akbar…, dan adzan shubuh pun berkumandang, menghentikan bayang-bayang di pelupuk matanya, dia tarik nafas dalam seraya mengucapkan hamdalah. Setiap kalimat adzan itu terdengar menggetarkan, menyejukkan, mengalirkan kekuatan di hatinya. Lalu ia pun berdiri, mengerjakan sholat sunnah yang melebihi alam semesta serta isinya itu. Selesai salam ia tengadahkan kedua tangannya,
Ya Allah, ya Rahman, ya Ghaffar….hiks…hiks…hiks…
Tangan ini kuangkat sebagai tanda kekerdilanku……
Tangan ini kuangkat tuk meminta ampunan dariMu..
Tangan ini kuangkat karena ku takut adzabMu..
Kurindu kasihMu….kucinta Rasul kekasihMu…


Rabb..
Segala puja dan kesyukuran hanya untukMu..
Aku malu…, di saat hati ini condong ke makhlukMu
Engkau tak buru-buru mengadzabku…dan itu yang kutakut dariMu
Engkau mudahkan semua…
Tuk..menggapai cita dan cinta..
Tuk..coba mengikat segala rasa
Pada tautan ridhoMu….

Ya..Allah,
Berilah hambaMU kekuatan kembali…
1 bulan ke depan ini….
Tuk menyambut akad suci nanti….
Semoga terampuni segala khilaf…
Semoga terampuni segala dosa hambaMu yang lemah ini ya..Allah…
Hiks…hiks…hiks…

Kemudian ia menyeka air matanya, berdiri lalu melangkah menuruni tangga, menuju Musholla…., terlihat Sang Rembulan yang menyaksikan tangis pemuda itu dari celah jendela nako, ia kembali tersenyum juga terharu..melihat penyesalan dan tekad pemuda itu…
Ia bergembira, setelah mendapat kabar dari matahari bahwa pemuda itu tadi siang telah melamar wanita yang selama ini membuatnya gelisah….lalu ia mendoakan…
“Rabb…..semoga bahagia segera mengakhiri kegelisahannya”…Amin.

Taman Baca: Sarana Menumbuhkan Minat Baca Anak


Esai Dhinny El Fazila
Dimuat di Media Indonesia

Dominasi televisi dalam kehidupan masyarakat, terutama anak-anak saat ini, telah dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan. Jika orang jepang menonton televisi dalam sehari kurang dari lima jam, maka bandingkan dengan anak-anak Indonesia (dan mungkin para orang tuanya) yang menonton televisi bisa lebih dari sepuluh jam, bahkan bisa mencapai dua puluh jam! Anak-anak sekarang bahkan ada yang jadwal televisinya mengalahkan apapun. Televisi telah menjadi candu bagi anak-anak dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Televisi dengan kekuatan audio visualnya tidak sekedar memudahkan anak untuk menangkap apa-apa yang disampaikan. Lebih dari itu, televisi tidak memberi kesempatan bagi anak untuk mencerna apa yang ada pada acara televisi tersebut. Sifat audio visual televisi sesungguhnya merupakan kekuatan sekaligus kelemahan televisi. Tidak adanya jeda pada gambar yang bergerak diperkuat dengan suara membuat otak anak tidak sempat mencerna mana yang baik dan buruk pada acara televisi tersebut. Ini menjadi masalah tatkala televisi hanya berorientasi pada rating dan keuntungan sehingga tidak memikirkan bentuk acara seperti apa yang dapat memberi manfaat bagi penontonnya, namun lebih memikirkan acara seperti apa yang laku dijual.

Berbeda dengan televisi, buku merupakan media yang hanya bersifat visual saja. Selain itu buku bukan merupakan rangkaian adegan yang bergerak terus-menerus. Sifat buku ini membuat otak anak dapat beristirahat sebentar dan mencerna isi buku tersebut. Orang tua pun dapat dengan mudah mengarahkan pada anak tentang isi buku tersebut. Dilihat dari sifatnya saja, media buku tampaknya lebih ramah bagi anak daripada media televisi.

Mengapa buku lebih baik daripada televisi? Ini disebabkan karena kentalnya orientasi profit media televisi. Mahalnya ongkos untuk mendirikan sebuah stasiun televisi dan mahalnya biaya produksi televisi membuat mereka sangat berorientasi pada keuntungan semata. Ini menyebabkan televisi seringkali kehilangan idealismenya. Moral anak-anak Indonesia menjadi taruhannya ketika televisi menyajikan acara-acara yang kurang bermutu, dan itu dengan mudahnya menjadi konsumsi anak-anak yang belum cukup umur bahkan belum bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Ini berbeda dengan buku. Ongkos produksi untuk mencetak buku tidak semahal ongkos produksi untuk membuat sebuah tayangan di televisi. Ini menyebabkan produksi buku tidak pernah kehilangan idealismenya.

Buku memang menjadi alternatif media yang ramah dan aman bagi anak-anak. Selain karena buku memiliki sifat yang ’ramah’, buku juga memiliki segmen khusus anak-anak yang aman dibaca dan mendidik. Selain itu buku memiliki banyak ragamnya sehingga kita bebas memilih buku seperti apa yang akan kita baca. Ini berbeda dengan acara televisi yang cenderung kurang variatif dan sedikit pilihan. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk menumbuhkan minat baca, terutama minat baca anak.

Kurangnya minat baca anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah kurangnya pembiasaan oleh orang tua. Kurangnya minat baca orang tua dapat berpengaruh pada kurangnya minat baca anak. Oleh karena itu, pembiasaan terhadap membaca seharusnya dimulai dari lingkungan pertama anak, yaitu rumah. Jika dirumah terdapat perpustakaan, meskipun kecil, ini akan mendorong anak untuk gemar membaca. Atau pembiasaan lain seperti berlangganan majalah anak. Masalahnya seringkali orang tua kurang memiliki kesadaran dalam hal pembiasaan membaca terhadap anak.

Fungsi ini sebenarnya juga dapat diambil oleh sekolah. Perpustakaan sebagai sarana yang ada di sekolah seharusnya dapat mengambil fungsi tersebut. Namun sayangnya, saat ini rasanya sekolah belum mampu untuk menangani lemahnya minat baca para siswa. Dapat dilihat, perpustakaan sekolah sangat jarang dikunjungi. Kalaupun ada yang datang, perlu dilihat lagi, buku apa yang dibacanya. Moga-moga memang benar-benar buku yang layak dibaca. Tapi kebanyakan siswa-siswa memilih komik untuk di baca di perpustakaan. Tak salah sebenarnya kalau mereka memilih komik untuk dibaca, karena bagi mereka hanya itu yang menarik. Masalahnya adalah bagaimana agar buku-buku yang mendidik itu juga menarik untuk mereka baca.

Hadirnya rumah-rumah baca atau perpustakaan keliling sepertinya cukup membantu dalam menarik minat baca anak. Sebut saja Forum Lingkar Pena (FLP) yang dipelopori oleh Helvy Tiana Rosa, saat ini telah memiliki banyak perpustakaan yang dinamakan Rumah Cahaya yang merupakan kepanjangan dari Rumah Baca Hasilkan Karya. Di rumah ini, anak-anak sekitar dibebaskan untuk membaca buku-buku yang ada disana tanpa dipungut biaya apapun. Buku-buku yang disediakan pun memiliki segmen khusus anak-anak. Mereka bebas membaca sambil bermain di sana. Tempat-tempat baca seperti ini sebenarnya sangat potensial dalam memberikan kontribusi secara informal bagi pendidikan dan minat baca anak. Hanya saja tempat-tempat seperti masih kalah booming sosialisasinya ketimbang pusat-pusat perbelanjaan atau tempat-tempat rekreasi. Biasanya tempat-tempat seperti inipun terbatas pengunjungnya. Hanya anak-anak yang memang sudah gemar membaca yang sering datang berkunjung.

Untuk itu, selain disediakannya buku-buku yang menarik minat anak, sebenarnya perlu diadakan acara-acara yang menarik minat anak untuk datang ke taman-taman bacaan seperti ini. Dongeng atau lomba mungkin bisa jadi salah satu alternatifnya.
Saat ini, FLP telah memiliki beberapa Rumah Cahaya yang tersebar di berbagai daerah. Sebut saja Aceh, Bandung, Bekasi, Depok, Penjaringan, dan masih banyak lainnya. Bahkan Rumah Cahaya terakhir yang baru diresmikan, yaitu di Depok 2 Timur, memiliki kisah uniknya sendiri.

Rumah Cahaya Depok 2 Timur baru saja diresmikan seminggu yang lalu dan dihadiri oleh Helvy Tiana Rosa serta anaknya Abdurrahman Faiz. Rumah Cahaya ini didirikan di rumah seorang anggota FLP Depok. Beliau memiliki seorang anak yang sangat gemar membaca. Seringkali sang ayah harus kerepotan saat membawa anaknya ke toko buku karena di sana anak tersebut baru mau pulang jika sudah membaca sepuluh buku atau lebih. Akhirnya, karena alasan itulah, sang ayah membuatkan Rumah Cahaya di rumahnya agar sang anak bisa membaca sepuasanya dirumahnya. Selain itu agar teman-teman anaknya dan tetangga-tetangganya bisa ikut menikmati bacaan dirumahnya. Menurut ibunya, anak ini memang sudah terbiasa dan bisa membaca sejak kecil sebelum masuk sekolah. Ibu dan ayahnya pun adalah orang-orang yang sangat suka membaca.

Memang tidak semua anak gila membaca seperti anak tersebut. Namun adanya pembiasaan, banyaknya buku di rumah, dan kemampuan membaca yang cukup dini dapat merangsang anak untuk gemar membaca. Ini baik untuk perkembangan anak itu ke depan. Sebab buku, hingga saat ini, masih menjadi sumber informasi yang utama bagi kebanyakan masyarakat. Meskipun kini ada media internet sebagai sumber informasi, namun internet belum terlalu akrab dengan seluruh lapisan masyarakat sehingga buku masih menjadi yang utama.

Fenomena Rumah Cahaya FLP sebenarnya tidak berdiri sendiri. Banyak taman-taman bacaan dan perpustakaan yang lain yang juga memiliki visi serupa. Hanya saja masih banyak yang belum tersosialisasikan dengan baik atau masih terbatas dalam pengelolaannya. Padahal membaca adalah salah satu syarat dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, kampanye gemar membaca harus dibunyikan lebih keras lagi. Sebab ini adalah bagian dari pendidikan terhadap generasi bangsa selanjutnya, agar yang tumbuh bukan sekedar generasi yang ingin menjadi kaya dan terkenal dengan cepat seperti yang kita lihat di televisi. Kita tentunya menbgharapkan anak-anak di masa mendatang adalah generasi yang berwawasan luas, bervisi jauh ke depan, serta memiliki koral dan budi pekerti yang baik. Bukan generasi instan ala televisi.






Eksploitasi Remaja oleh Media Melalui Ajang Pencarian Bakat di Televisi

Selasa, 12 Januari 2010

Esai Dhinny el Fazila


Media massa khususnya televisi, merupakan media massa yang memiliki pengaruh sangat besar bagi sebagian besar masyarakat Indonesi. Ajang-ajang pencarian bakat yang dilakukan oleh banyak stasiun televisi, meski banyak diantaranya yang meniru program luar negeri, namun terlihat sangat diminati oleh para remaja Indonesia. Hal ini dapat kita mengerti mengingat banyaknya remaja yang ingin ”kaya dan terkenal”, apalagi dengan cara cepat seperti itu.


Namun ternyata, dibalik kegembiraan remaja dengan adanya ajang-ajang pencarian bakat yang diselenggarakan oleh stasiun televisi tersebut, ternyata terdapat unsur eksploitasi remaja oleh media. Remaja sebagai objek ajang tersebut, ternyata telah dieksploitasi dalam bentuk-bentuk yang tidak disadari. Salah satu bentuknya adalah bahwa televisi ”menjual” remaja ke pengiklan untuk mendapatkan pemasukan iklan yang berlipat. Ini sepertinya merupakan tambang emas luar biasa bagi pengelola stasiun televisi.

Ajang pencarian bakat seperti ini, sesungguhnya merupakan proses selebritisasi yang sengaja dibuat dalam budaya selebritis media massa Indonesia. Budaya selebritis sesungguhnya telah ada beberapa puluh tahun lalu. Berawal dari teater dan film, muncullah aktor-aktor film yang awalnya kurang diperhatikan secara personal, namun akhirnya dibuat menjadi selebritas dengan diperkenalkannya aktor tersebut secara personal melalui media massa sehingga jadilah aktor tersebut sebagai apa yang disebut selebritas. Proses membuat seseorang menjadi selebritas disebut selebritisasi.

Saat ini proses selebritisasi telah dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi pengelola media massa khususnya televisi. Masyarakat Indonesia secara umum sangat suka mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan kehidupan orang terkenal. Maka kemudian bermunculanlah artis-artis baru yang kehidupannya senantiasa dipublikasikan kehadapan publik melalui tayangan infotainment.

Maraknya tayangan infotainment yang kebanyakan penontonnya adalah ibu-ibu dan remaja putri, menyebabkan banyaknya remaja yang kemudian bercita-cita menjadi artis. Belum lagi bombardir tayangan MTV untuk remaja, sinetron yang menggambarkan kemewahan, semuanya kebanyakan ditonton oleh para remaja. Tak heran jika kemudian banyak remaja yang terobsesi ingin kaya dan terkenal.

Ajang-ajang pencarian bakat yang dipelopori oleh Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dengan sangat sukses , membuat stasiun televisi lain seolah berlomba untuk membuat acara sejenis untuk memenuhi obsesi remaja tersebut. AFI, dulu, dan Mamamia, sekarang, keduanya benar-benar telah membuat rating Indosiar Visual Mandiri (IVM) naik sangat drastis. Sukses mereka kemudian disusul oleh stasiun-stasiun televisi lainnya.

Sebagian besar ajang-ajang tersebut ditujukan untuk para remaja. Ini wajar, sebab tidak hanya televisi yang menjadikan remaja sebagai target pasarnya. Hampir kebanyakan produsen menganggap kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.

Melihat karakter remaja yang seperti itu, pengelola televisi melihat bahwa program jenis tersebut akan lebih ‘laku’ jika targetnya adalah remaja. Ini terbukti.

Jika mau melihat sukses AFI, kita dapat melihat bahwa satu spot iklan pada acara AFI mencapai angka 18 juta dan setiap konser AFI disediakan 24 spot iklan. Belum lagi pendapatan-pendapatan lainnya seperti layanan sms dan premium call dimana pemenang kontes tersebut ditentukan dengan cara voting pemirsa. Sms yang masuk setiap minggunya bisa mencapai 150.000-250.000 sms. Memasuki babak Grand Final, sms yang masuk meningkat hingga 500.000 sms setiap minggunya.

Jika mau dibuat daftar, maka jenis-jenis keuntungan yang diperoleh stasiun televisi hasil ajang pencarian bakat seperti ini yaitu berasal dari pendaftaran (uang administrasi pendaftaran), proses seleksi yang direkayasa (dipelopori oleh tayangan proses seleksi Indonesian Idol) yang mendapat pemasukan iklan dan juga proses karantina (yang biasanya juga disponsori oleh pengiklan), tayangan konser/ proses eliminasi (contoh: spektakuler show Indonesian Idol, Mamamia Show), sms pemirsa pada saat proses eliminasi, kontrak atas bintang yang dihasilkan dari ajang tersebut yang biasanya bersifat eksploitasi atas artis tersebut , album/ produk yang dibuat dari ajang tersebut, dan acara-acara off air yang diselenggarakan yang biasanya dapat mendatangkan penonton remaja yang begitu banyak. Disamping itu, hal pokok dari acara ini adalah banyaknya remaja yang menonton yang membuat rating acara seperti ini tidak terlalu rendah, bahkan ada yang begitu tinggi.

Munculnya eksploitasi terhadap audiens oleh televisi sesungguhnya merupakan bagian dari sistem kapitalisme. F. Vito mendefinisikan kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi dengan karakteristik: 1) adanya kebebasan beraktivitas bagi pelaku ekonomi, 2) adanya hak milik privat dari alat-alat produksi, dan 3) adanya persaingan. Saat ini, kapitalisme masih menjadi sistem ekonomi yang dominan di dunia pasca runtuhnya komunis.

Berdasarkan Teori Marxist, sistem ekonomi menjadi dasar segala sesuatu (base) dan mempengaruhi super structure, yaitu kumpulan institusi yang ada dan mempengaruhi pemikiran masyarakat. Pada media massa, kapitalisme telah membuat media memiliki tujuan utama untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya yang dapat dilakukan dengan segala cara, jika melihat kembali karakteristik kapitalisme. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi munculnya eksploitasi yang dilakukan media terhadap audiens/ khalayak, khususnya remaja.

Jika kita kembali kepada permasalahan di atas, maka ideologi yang disebarkan oleh media yaitu bahwa bintang (star), adalah manusia sempurna yang harus diidolakan. Bintang di media digambarkan sebagai sosok yang mewah, glamour, sempurna, dan menyebabkan ribuan remaja mengangankan untuk menjadi bintang. Media massa jarang mengajarkan bagaimana para bintang itu bekerja keras dari nol hingga berada di puncak kesuksesan. Yang sering digambarkan media mengenai bintang hanyalah kesenangan dan gaya hidup mereka. Penonton remaja tidak tahu dan juga tidak diajarkan bagaimana bintang tersebut mendapatkannya. Akibatnya, muncullah generasi yang menginginkan kesuksesan secara instan. Ini karena mereka tidak pernah diajarkan bagaimana berjuang medapatkan kesuksesan. Yang mereka tahu hanyalah ketika bintang tersebut telah berada di puncak sukses.

Keinginan untuk menjadi bintang, kaya dan terkenal, secara instan inilah yang membuat berbondong-bondong antri untuk mengikuti audisi ajang pencarian bakat yang diselenggarakan oleh televisi. Sukses dengan edisi perdana, biasanya televisi tersebut akan membuat yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Contoh-contoh remaja biasa yang sukses dengan mengikuti ajang tersebut kemudian menjadi “heroes” yang menjadi cerminan bagi remaja lainnya, secara umur dan kondisi sosial-psikologis. Kemudian mereka menjadi acuan bagi remaja lainnya untuk mengikuti jejak mereka.

Menurut teori Marxist, kelas penguasa menyebarkan suatu ideologi yang memberi pembenaran pada statusnya, yang menyulitkan kebanyakan orang untuk menyadari bahwa mereka sedang menjadi korban eksploitasi. Anggapan bahwa jumlah besar orang dimanipulasi dan dieksploitasi oleh kelas penguasa merupakan salah satu argumen utama dari analisis kultural Marxist.

Masih dalam pandangan Marxist, media merupakan alat (tools) untuk memanipulasi, sebab media massa dan budaya populer berperan penting dalam penyebaran false consciusness dan menjaga hegemoni serta ideologi penguasa.
Namun pertanyaannya, dalam konteks permasalahan di atas, kelompok penguasa mana yang oleh media dipertahankan hegemoni dan ideologinya? Jawabannya adalah kelompok media itu sendiri! Media menggunakan pengaruhnya sendiri untuk mempertahankan kekuasaannya agar tetap dapat mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari pemasukan iklan.

Mengenai konsep iklan pada masalah ini, berbeda dengan iklan yang dimaksudkan oleh Marxist. Pada teori Marxist, iklan yang dimaksud adalah cara penyampaian pengumuman kepada suatu khalayak dengan menggunakan perantara media massa. Sedangkan pada masalah ini, iklan adalah sebagai satu-satunya sumber dana yang membiayai media massa. Namun persamaannya adalah, iklan memegang peranan penting dalam masyarakat kapitalis terutama dalam industri media saat ini.

Jika kita melihat lagi dengan cermat, siapa yang diuntungkan dibalik adanya berbagai ajang pencarian bakat tersebut, jawabannya adalah media massa, dalam hal ini stasiun televisi yang bersangkutan. Remaja hanyalah menjadi korban eksploitasi media. Remaja yang merasa bahwa ajang seperti ini adalah salah satu kendaraannya menuju impiannya menjadi bintang/ selebritas merasa senang dengan adanya ajang seperti ini. Namun tanpa dia sadari, ajang ini adalah alat untuk mengeksploitasi mereka. Dalam hal ini media memberikan kesadaran palsu kepada remaja. Kesadaran palsu tersebut dikonstruksi melalui pengaruh media itu sendiri.

Secara tidak langsung, remaja “dijual” oleh media kepada pengiklan. Jadi siapa sebenarnya penguasa disini? Pengiklan atau media? Atau keduanya? Semua saling memengaruhi. Namun yang jelas, satu hal tetap pasti bahwa remaja, tetap merupakan korban eksploitasi mereka.