Cerpen Hafi Zha
***
Aku berada di ambang pintu, memperhatikan laki-lakiku yang tengah sibuk dengan dunianya. Dunia yang ia cintai. Dunia yang berujar bahwa kata adalah senjata utamanya, pedang yang lebih tajam daripada lidah. Dunia dimana bisa membuat laki-lakiku betah untuk duduk di depan layar monitor, menekan tuts-tutsnya, bercerita tentang segala hal. Dan aku...aku di sini, di ambang pintu, pintu yang memisahkan dunia kami. Aku tak mampu melangkah mundur ataupun masuk ke dunianya. Setiap kali aku mencoba untuk masuk, aku ditarik oleh kekuatan dari duniaku yang entah darimana datangnya. Berkali-kali aku berada di tengah-tengah, antara duniaku dan dunianya. Mungkinkah apa yang dulu kutakutkan akan terjadi. Bayangan yang menghantuiku saat aku menerima dia menjadi laki-lakiku, suamiku.
***
”Sebentar, sayang. Lagi tanggung nih,” Dia memandangku sembari tersenyum padaku. Aku berhenti untuk membujuknya makan. Laki-lakiku takkan bisa diganggu ketika dia sedang bercerita pada komputernya. Aku mengambil duduk di sampingnya. Kupandangi dia dari samping dan kutemukan keseriusannya dengan tulisan-tulisannya di layar monitor. Lama kupandangi wajahnya. Aku tersentak, apakah ini hanya perasaanku saja atau memang inilah yang sedang terjadi. Dia tak menghiraukanku. Dia tak bereaksi ketika aku berada di dekatnya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, tak jua melirikku. Kami seolah-olah tak pernah mengenal satu sama lainnya. Dia tenggelam dalam keasyikannya.
Lama ini berlangsung dan tak ada yang berubah di antara kami. Kebekuan itu ada. Aku tak mampu memecahkan bongkahan es yang kini berada di masing-masing diri kami. Aku beranjak pelan dari dudukku, tetap ia tak menghiraukanku. Aku terhempas dalam kegamanganku, beringsut dari ruangannya menuju pintu untuk keluar dari dunianya. Aku sempat melihatnya yang tak jua menoleh kepadaku. Istrinya yang rindu belaiannya.
***
Aku berada di kamar kami, yang dulu tempat kami berbagi kisah. Kami betah untuk berlama-lama di sini, menghabiskan malam-malam kerinduan kami. Waktu dimana sang surya bersinar kami takkan bisa menumpahkan rindu kami. Hanya di malam hari, kami bisa berkumpul. Dia takkan henti-hentinya menggodaku, memuji setiap hal yang ada dalam diriku. Kami berdua seperti anak kecil yang tengah asyik bermain di dalam taman milik kami. Aku pura-pura merajuk padanya, aku bermanja-manja padanya. Kebahagiaan di awal-awal pernikahan kami.
Kini, kamar yang sekarang aku tempati sepi. Sunyi, tak ada derai tawa ataupun sekedr kata yang terucap. Dinding-dinding kamar merekam semuanya, peristiwa yang aku dan laki-lakiku lalui. Aku di sini, di kamar kami, mungkin sekarang adalah kamarku karena laki-lakiku sudah jarang untuk tidur bersamaku di sini. Dia lebih betah berada di kamar kerjanya, di sebelah kamar ini, bercerita pada komputernya hingga tertidur di atas meja kerjanya. Meninggalkan aku di sini, tidur diantarkan oleh cerita yang direkam oleh benda-benda yang ada di sini. Juga, buku harianku yang setia menampung segala keluh kesahku.
Malam ini, aku kan tidur sendiri lagi. Dia masih saja berkutat dengan dunia dalam katanya. Tanpa peduli apa yang kuinginkan.
Aku bertahan dalam keadaan seperti ini. Mencoba mengerti akan apa yang menjadi kesenangannya – serta pekerjaannya – bahkan kini telah menjadi sainganku. Dunianya telah menenggelamkan laki-lakiku hingga melupakanku, istrinya. Suamiku yang dulu tempat aku mencurahkan perasaanku, yang betah mendengar cerita-ceritaku, telah memiliki dunianya sendiri. Aku tak ingin mengganggunya, tapi sampai kapan aku berada dalam keadaan seperti ini. Aku merindukannya, namun aku tak sanggup untuk berkata ketika melihatnya tengah asyik dengan dunianya.
Aku merindukanmu, laki-lakiku.
***
Aku kembali berada di dekatnya malam ini. Sama seperti malam-malam dahulu, dia tengah tekun dengan cerita-ceritanya, yang jika kuhitung mungkin sudah beratus-ratus jumlahnya. Laki-lakiku berhasil di dunianya. Cerita-ceritanya beberapa kali mendapatkan penghargaan nasional hingga internasional. Suamiku menjadi sosok yang terkenal. Ia dihormati karena cerita-ceritanya. Ia dianggap sebagai pahlawan yang mempunyai pedang yang tajam, kata-kata yang takkan pernah habis untuk mengkritik apa yang terjadi di sekitarnya, memotret kehidupan sosial politik ekonomi ke dalam cerita-ceritanya. Suamiku menemukan dunianya yang selama ini dia perjuangkan untuk mencapainya. Suamiku berbahagia. Ia berbahagia ketika apa yang diinginkannya dulu tercapai sudah kini. Aku merasakan kebahagiaannya. Namun kebahagiaan yang hambar kurasa. Aku kembali terhempas dalam kegamanganku, kesunyianku. Aku tak menemukan suamiku yang dulu. Aku kini sendiri. Seperti saat ini, walau aku dan laki-lakiku berada dalam satu ruangan, duduk berdekatan, seolah tak ada tali yang menghubungkan hati kami. Aku tertunduk menarik nafasku yang sesak memenuhi dadaku. Aku terhimpit dalam kerinduan yang aku pendam kepadanya, laki-laki yang duduk di sampingku yang sibuk menekan tuts-tuts keyboard komputernya.
”Ada apa, sayang? Wajahmu tampak pucat dan matamu bersinar redup,” Aku baru tahu kalau wajahku ternyata tak mampu menyembunyikan kesedihanku. Aku menggeleng, bibirku tak mau untuk berucap mengungkapkan perasaanku padanya.
”Kamu tidur duluan saja, aku masih belum menyelesaikan ceritaku. Ya, sayang?” Ya, aku akan tidur, tidur dalam kesendirianku, laki-lakiku. Kau akan tidur di duniamu, tidak di duniaku atau di dunia kita. Kau tak pernah bisa mengakhiri ceritamu karena cerita itu akan terus bersambung. Sedang cerita di antara kita berdua? Cerita kita berdua terhenti, menggantung. Aku tak bisa menyelesaikannya dan kau juga seolah-olah tak mau mengutak-atiknya.
Aku kembali beranjak seperti malam-malam terdahulu. Namun ada yang membedakannya, kali ini aku diantar oleh tatapan laki-lakiku yang kurasa menusukku dari belakang karena saking rindunya aku padanya. Kututup pintu kamar menuju dunia laki-lakiku dan kulihat ia kembali menekuni komputernya.
***
Diriku selalu bertanya, apa yang telah merubahmu hingga kini kau menjadi pendiam. Ataukah ada yang telah merubah kita berdua?
***
Pertanyaan itu terus menghantui diriku. Aku tak pernah bisa lagi lancar dalam bercerita di depan komputer. Wanitaku tengah bersedih, diriku merasakan itu. Di dalam kamar kerjaku, sesaat kau pergi meninggalkanku, aku berhenti bercerita. Kubuka album pernikahan kita, salah satu hal yang belakangan sering kulakukan, dan mungkin kautak mengetahuinya. Diriku terhanyut di masa-masa awal pernikahan kita. Kita pernah bercengkarama di sini, kau bermain-main seperti anak kecil yang haus kasih sayang dan kuturuti segala apa yang kaumau saat itu. Aku merindumu, wanitaku. Kemana keceriaan yang selalu menghiasi wajahmu, kemanjaanmu yang sering kautunjukkan di depanku, kemana sayang?
Diriku kini kehabisan kata-kata. Entah apa yang harus kuceritakan pada komputerku sedang aku tak lagi mendapatkan istriku tersenyum ceria. Ada apa denganmu wanitaku? Ceritakanlah padaku seperti aku bercerita pada halaman catatan harianku, tentang apa yang kurasakan saat ini. Namun, diriku tak jua mampu. Tak mampu sekedar bertanya padamu. Tak mampu meruntuhkan dinding egoku karena diriku adalah laki-laki. Diriku ingin kaulah yang sekarang memulai, bukan suamimu ini.
***
Tengah malam, saat diriku merasakan kesepian di kamar kerjaku. Kau mungkin telah tidur nyenyak di kamar kita. Diriku ingin sekali berada di sampingmu. Kulangkahkan kaki keluar menuju kamar kita, tempat dimana kau tertidur. Pelan-pelan kubuka pintu kamar kita, kutemukan dirimu berbaring membelakangi pintu. Bidadariku tengah tidur pulas, kupikir. Diriku tak berani untuk menghampirimu. Dinding egoku begitu kokoh kuat berdiri. Kau tentu besok akan disibukkan kembali dengan mahasiswa dan persiapan ujian tesismu. Ah...diriku merindumu, bidadariku.
Kututup pintu, pintu yang memisahkan tempat dimana diriku dan kau berada. Lama kuberdiri di depan pintu. Bimbang, apakah tetap berada di sini atau masuk menemani dirimu tidur. Wanitaku...sungguh diriku tak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi di antara kita berdua.
Apa yang dulu pernah kau khawatirkan kini terjadi? Diriku tertegun. Cukup lama kita bersama, setidaknya tentu kau mengerti diriku juga duniaku. Seperti aku mengerti bagaimana kau berjuang menimba ilmu dan memberikan ilmu pada mahasiswa-mahasiswamu. Jangan pernah kauragu akan rasa sayangku. Sayangku tak pernah berkurang. Kau tentu juga tahu, aku melakukan ini semua untuk kita berdua, masa depan kita, tidak untuk diriku sendiri.
Keberhasilanku sekarang berkat dirimu sayang, kau yang membuka jalan bercerita padaku. Semua penghargaan yang kudapat tiada berarti jika tak ada dirimu di sampingku. Diriku menjadi orang yang bodoh saat ini. Hanya bisa bertanya-tanya sendiri, bicara dengan hati kecilku. Semua yang kukatakan takkan pernah bisa kaudengar karena tak ada kata yang keluar di depanmu. Kau telah tidur sayang. Tidur tanpaku....
Kembali di kamar kerjaku, aku terdiam. Di siang hari waktu kita untuk berkumpul sedikit sekali. Hanya di malam hari kita bisa berdua, bertemu dalam ruang rindu yang kita bangun dengan penuh sayang. Kini, siang atau pun malam hari tak ada bedanya. Diriku tak menemukanmu ada di sampingku. Kau selalu beranjak dari sisiku. Menghilang di balik pintu kamar kerja meninggalkan bayangan semu untukku.
Diriku tak pernah lagi bercerita tentang masalah-masalah sosial atau dunia luar yang tak langsung aku alami. Diriku menghabiskan berhalaman-halaman word hanya untuk menuliskan ceritaku sendiri, cerita yang kini kita alami. Kutumpahkan semua yang kurasa, kerinduanku, kemarahanku, kepengecutanku, keegoanku di sana. Seandainya kau membacanya, apakah kau kembali seperti dulu kala? Apakah semua yang kutulis di sini mampu mengembalikan dirimu menjadi bidadariku yang ceria dan manja? Terus kutuliskan di halaman berikutnya, mungkin ini akan menjadi sebuah buku yang best-seller, buku harian seorang suami yang merindukan istrinya. Adakah kau juga rindu padaku?
***
Malam ini aku kan datang. Menemanimu setelah malam-malam panjang kesendirianku.
Kutekadkan hatiku untuk memecah kebekuan kita. Kulangkahkan kaki menuju kamar kerjamu. Kukumpulkan semua kerinduan yang aku tanggung sendiri tanpa pernah aku curahkan kepadamu. Malam ini, ya malam ini semua rinduku haruslah terobati. Segelas susu coklat kesukaanmu kubuat dengan penuh kasih. Entah, ketika kau meminumnya merasakan bagaimana aku membuatnya, kuhayati penuh kemesraan. Kupegang gagang pintu kamar kerja, sedikit ragu datang menyergapku. Tidak, aku tak ingin lagi sendiri menanggung rindu. Pelan kubuka pintu dan kulihat ruangan gelap. Hanya cahaya yang keluar dari monitor yang menyinari ruangan yang gelap. Mataku mencari sosok yang ingin kutemui. Hatiku berdegup kencang. Tak ada orang di sini. Laki-lakiku tak ada di kamar kerjanya. Kudekati meja kerjanya, memastikan bahwa ia ada di sana. Tetap tak ada. Aku menjadi was-was. Kemana dia pergi tengah malam ini. Bergegas kuambil langkah keluar ruangan ini. Namun, sesuatu menahanku. Kulihat tulisan-tulisan di layar monitornya. Kuhadapi monitor itu dan kubaca apa yang ada di depanku.
Ada apa dengan istriku? Kutemukan mendung menggelayut di wajahnya yang ayu. Matanya yang indah tak lagi memancarkan sinarnya. Tidakkah dia merasa, aku merindunya. Beberapa kali ia sempat duduk di sampingku namun pada akhirnya dia beranjak meninggalkanku. Aku tak menahannya...tak mampu menahannya agar tetap berada di sampingku.
Kelegaan merayap pelan dalam hatiku. Laki-lakiku juga merindukanku. Benarlah yang dikatakan orang, jika rindu pada seseorang tentu orang itupun rindu kita. Mataku berkabut. Aku tak lagi merasa kesepian. Dadaku tak sesak lagi.
Tapi, kemana laki-lakiku saat ini? Mengapa dia meninggalkanku ruangannya, ruangan yang menjadi teman dalam sendirinya. Kurasakan ruangan ini penuh dengan rasa rindunya. Kupalingkan badanku menuju pintu untuk mencarinya. Terkejutku ketika pintu telah terbuka, sinar menerobos masuk dari lampu ruang makan. Sinar itu terhalang bayangan sosok tinggi yang kini berada di tengan pintu. Dadaku tak cukup kuat menahan kerinduanku. Air mataku tak bisa kutahan lebih lama untuk tidak keluar deras. Setengah berlari kumenuju sosok yang sangat kukenal itu. Kudekap erat dirinya. Tangannya dengan pasti membalas pelukanku. Sempat kudengar dia berbisik di antara isak tangisku, ”Maafkan aku istriku.”
Di kamar sebelah, buku harian wanitaku tergeletak dengan halamannya yang membuka.
***
Jombang dini hari, 11 Juni 2006
0 komentar:
Posting Komentar