Esai Dhinny el Fazila
Media massa khususnya televisi, merupakan media massa yang memiliki pengaruh sangat besar bagi sebagian besar masyarakat Indonesi. Ajang-ajang pencarian bakat yang dilakukan oleh banyak stasiun televisi, meski banyak diantaranya yang meniru program luar negeri, namun terlihat sangat diminati oleh para remaja Indonesia. Hal ini dapat kita mengerti mengingat banyaknya remaja yang ingin ”kaya dan terkenal”, apalagi dengan cara cepat seperti itu.
Namun ternyata, dibalik kegembiraan remaja dengan adanya ajang-ajang pencarian bakat yang diselenggarakan oleh stasiun televisi tersebut, ternyata terdapat unsur eksploitasi remaja oleh media. Remaja sebagai objek ajang tersebut, ternyata telah dieksploitasi dalam bentuk-bentuk yang tidak disadari. Salah satu bentuknya adalah bahwa televisi ”menjual” remaja ke pengiklan untuk mendapatkan pemasukan iklan yang berlipat. Ini sepertinya merupakan tambang emas luar biasa bagi pengelola stasiun televisi.
Ajang pencarian bakat seperti ini, sesungguhnya merupakan proses selebritisasi yang sengaja dibuat dalam budaya selebritis media massa Indonesia. Budaya selebritis sesungguhnya telah ada beberapa puluh tahun lalu. Berawal dari teater dan film, muncullah aktor-aktor film yang awalnya kurang diperhatikan secara personal, namun akhirnya dibuat menjadi selebritas dengan diperkenalkannya aktor tersebut secara personal melalui media massa sehingga jadilah aktor tersebut sebagai apa yang disebut selebritas. Proses membuat seseorang menjadi selebritas disebut selebritisasi.
Saat ini proses selebritisasi telah dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi pengelola media massa khususnya televisi. Masyarakat Indonesia secara umum sangat suka mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan kehidupan orang terkenal. Maka kemudian bermunculanlah artis-artis baru yang kehidupannya senantiasa dipublikasikan kehadapan publik melalui tayangan infotainment.
Maraknya tayangan infotainment yang kebanyakan penontonnya adalah ibu-ibu dan remaja putri, menyebabkan banyaknya remaja yang kemudian bercita-cita menjadi artis. Belum lagi bombardir tayangan MTV untuk remaja, sinetron yang menggambarkan kemewahan, semuanya kebanyakan ditonton oleh para remaja. Tak heran jika kemudian banyak remaja yang terobsesi ingin kaya dan terkenal.
Ajang-ajang pencarian bakat yang dipelopori oleh Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dengan sangat sukses , membuat stasiun televisi lain seolah berlomba untuk membuat acara sejenis untuk memenuhi obsesi remaja tersebut. AFI, dulu, dan Mamamia, sekarang, keduanya benar-benar telah membuat rating Indosiar Visual Mandiri (IVM) naik sangat drastis. Sukses mereka kemudian disusul oleh stasiun-stasiun televisi lainnya.
Sebagian besar ajang-ajang tersebut ditujukan untuk para remaja. Ini wajar, sebab tidak hanya televisi yang menjadikan remaja sebagai target pasarnya. Hampir kebanyakan produsen menganggap kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Melihat karakter remaja yang seperti itu, pengelola televisi melihat bahwa program jenis tersebut akan lebih ‘laku’ jika targetnya adalah remaja. Ini terbukti.
Jika mau melihat sukses AFI, kita dapat melihat bahwa satu spot iklan pada acara AFI mencapai angka 18 juta dan setiap konser AFI disediakan 24 spot iklan. Belum lagi pendapatan-pendapatan lainnya seperti layanan sms dan premium call dimana pemenang kontes tersebut ditentukan dengan cara voting pemirsa. Sms yang masuk setiap minggunya bisa mencapai 150.000-250.000 sms. Memasuki babak Grand Final, sms yang masuk meningkat hingga 500.000 sms setiap minggunya.
Jika mau dibuat daftar, maka jenis-jenis keuntungan yang diperoleh stasiun televisi hasil ajang pencarian bakat seperti ini yaitu berasal dari pendaftaran (uang administrasi pendaftaran), proses seleksi yang direkayasa (dipelopori oleh tayangan proses seleksi Indonesian Idol) yang mendapat pemasukan iklan dan juga proses karantina (yang biasanya juga disponsori oleh pengiklan), tayangan konser/ proses eliminasi (contoh: spektakuler show Indonesian Idol, Mamamia Show), sms pemirsa pada saat proses eliminasi, kontrak atas bintang yang dihasilkan dari ajang tersebut yang biasanya bersifat eksploitasi atas artis tersebut , album/ produk yang dibuat dari ajang tersebut, dan acara-acara off air yang diselenggarakan yang biasanya dapat mendatangkan penonton remaja yang begitu banyak. Disamping itu, hal pokok dari acara ini adalah banyaknya remaja yang menonton yang membuat rating acara seperti ini tidak terlalu rendah, bahkan ada yang begitu tinggi.
Munculnya eksploitasi terhadap audiens oleh televisi sesungguhnya merupakan bagian dari sistem kapitalisme. F. Vito mendefinisikan kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi dengan karakteristik: 1) adanya kebebasan beraktivitas bagi pelaku ekonomi, 2) adanya hak milik privat dari alat-alat produksi, dan 3) adanya persaingan. Saat ini, kapitalisme masih menjadi sistem ekonomi yang dominan di dunia pasca runtuhnya komunis.
Berdasarkan Teori Marxist, sistem ekonomi menjadi dasar segala sesuatu (base) dan mempengaruhi super structure, yaitu kumpulan institusi yang ada dan mempengaruhi pemikiran masyarakat. Pada media massa, kapitalisme telah membuat media memiliki tujuan utama untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya yang dapat dilakukan dengan segala cara, jika melihat kembali karakteristik kapitalisme. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi munculnya eksploitasi yang dilakukan media terhadap audiens/ khalayak, khususnya remaja.
Jika kita kembali kepada permasalahan di atas, maka ideologi yang disebarkan oleh media yaitu bahwa bintang (star), adalah manusia sempurna yang harus diidolakan. Bintang di media digambarkan sebagai sosok yang mewah, glamour, sempurna, dan menyebabkan ribuan remaja mengangankan untuk menjadi bintang. Media massa jarang mengajarkan bagaimana para bintang itu bekerja keras dari nol hingga berada di puncak kesuksesan. Yang sering digambarkan media mengenai bintang hanyalah kesenangan dan gaya hidup mereka. Penonton remaja tidak tahu dan juga tidak diajarkan bagaimana bintang tersebut mendapatkannya. Akibatnya, muncullah generasi yang menginginkan kesuksesan secara instan. Ini karena mereka tidak pernah diajarkan bagaimana berjuang medapatkan kesuksesan. Yang mereka tahu hanyalah ketika bintang tersebut telah berada di puncak sukses.
Keinginan untuk menjadi bintang, kaya dan terkenal, secara instan inilah yang membuat berbondong-bondong antri untuk mengikuti audisi ajang pencarian bakat yang diselenggarakan oleh televisi. Sukses dengan edisi perdana, biasanya televisi tersebut akan membuat yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Contoh-contoh remaja biasa yang sukses dengan mengikuti ajang tersebut kemudian menjadi “heroes” yang menjadi cerminan bagi remaja lainnya, secara umur dan kondisi sosial-psikologis. Kemudian mereka menjadi acuan bagi remaja lainnya untuk mengikuti jejak mereka.
Menurut teori Marxist, kelas penguasa menyebarkan suatu ideologi yang memberi pembenaran pada statusnya, yang menyulitkan kebanyakan orang untuk menyadari bahwa mereka sedang menjadi korban eksploitasi. Anggapan bahwa jumlah besar orang dimanipulasi dan dieksploitasi oleh kelas penguasa merupakan salah satu argumen utama dari analisis kultural Marxist.
Masih dalam pandangan Marxist, media merupakan alat (tools) untuk memanipulasi, sebab media massa dan budaya populer berperan penting dalam penyebaran false consciusness dan menjaga hegemoni serta ideologi penguasa.
Namun pertanyaannya, dalam konteks permasalahan di atas, kelompok penguasa mana yang oleh media dipertahankan hegemoni dan ideologinya? Jawabannya adalah kelompok media itu sendiri! Media menggunakan pengaruhnya sendiri untuk mempertahankan kekuasaannya agar tetap dapat mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari pemasukan iklan.
Mengenai konsep iklan pada masalah ini, berbeda dengan iklan yang dimaksudkan oleh Marxist. Pada teori Marxist, iklan yang dimaksud adalah cara penyampaian pengumuman kepada suatu khalayak dengan menggunakan perantara media massa. Sedangkan pada masalah ini, iklan adalah sebagai satu-satunya sumber dana yang membiayai media massa. Namun persamaannya adalah, iklan memegang peranan penting dalam masyarakat kapitalis terutama dalam industri media saat ini.
Jika kita melihat lagi dengan cermat, siapa yang diuntungkan dibalik adanya berbagai ajang pencarian bakat tersebut, jawabannya adalah media massa, dalam hal ini stasiun televisi yang bersangkutan. Remaja hanyalah menjadi korban eksploitasi media. Remaja yang merasa bahwa ajang seperti ini adalah salah satu kendaraannya menuju impiannya menjadi bintang/ selebritas merasa senang dengan adanya ajang seperti ini. Namun tanpa dia sadari, ajang ini adalah alat untuk mengeksploitasi mereka. Dalam hal ini media memberikan kesadaran palsu kepada remaja. Kesadaran palsu tersebut dikonstruksi melalui pengaruh media itu sendiri.
Secara tidak langsung, remaja “dijual” oleh media kepada pengiklan. Jadi siapa sebenarnya penguasa disini? Pengiklan atau media? Atau keduanya? Semua saling memengaruhi. Namun yang jelas, satu hal tetap pasti bahwa remaja, tetap merupakan korban eksploitasi mereka.
Eksploitasi Remaja oleh Media Melalui Ajang Pencarian Bakat di Televisi
In ESAI, In NONFIKSISelasa, 12 Januari 2010
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar