profil flp depok

keceriaan

ketekunan

kebersamaan
FLP Depok Menerima Anggota Baru Angkatan VIII # mau bergabung klik Form Pendaftaran

Dilla...?

Rabu, 09 September 2009


Cerpen S. Prihandini

www.anekayess-online.com

Alkisah di sebuah perpustakaan alias rumah baca yang terletak di bilangan Depok dua, berkumpullah penulis-penulis kenamaan yang biasa mangkal disitu. Rumah itu bernama Rumah Cahaya. Di rumah itulah banyak karya yang diketik, diedit, dan diolah menjadi sebuah buku. 

Suatu kali, Rumah Cahaya gempar. Rumah baca warna hijau yang penuh buku berserakan di atas karpet warna-warni tanda sedang atau sudah selesai di baca namun belum dikembalikan, sedang dilanda isu santer nan menggemparkan. Salah seorang penghuninya, sang penulis terkenal sejagad raya, Denny Prabowo, gosipnya sedang jatuh cinta, saudara-saudara!

Kisahnya berawal ketika seorang penghuni Rumah Cahaya alias Rumcay, Hendra Veejay, penulis kawakan asal Bandung yang tersesat di belantara Depok dan tidak bisa pulang ke Bandung karena tidak punya ongkos, menawari Denny sisa makan siangnya yang tidak habis dimakan.

“Mas Denny, udah makan siang belom? Tuh ada nasi sama sayur di tempat makan saya, tadi makan nggak abis.”

“Nggak ah, lagi nggak nafsu makan.”

“Apa Mas? Nggak nafsu makan...???” Hendra terbengong-bengong. Tami, Rifa, Lian Kagura (anak FLP Bandung yang lagi jadi musafir di Depok), dan Koko yang sedang asyik membaca novel karyanya sendiri-sendiri juga langsung meletakkan bukunya dan ikutan bengong.

Sebenarnya tidak aneh kalau orang tidak nafsu makan, bisa saja dia sedang tidak enak badan, sedang ada masalah, dan hal-hal tidak enak lainnya. Tapi jadi aneh kalau yang tidak nafsu makan adalah Denny. Bukannya bermaksud berlebihan, tapi sebelum ini seorang Denny Prabowo tidak pernah tidak nafsu makan dalam keadaan apa pun dan di manapun. Meskipun dia sedang tidak enak badan, tapi itu bukan alasan untuk mengurangi nafsu makannya. Apalagi jika ada masalah, justru porsi makannya malah bertambah banyak. Katanya banyak makan bisa menghilangkan stress. Bukan hanya jago makan kelas berat, tapi seringkali jatah makan orang dihabiskannya.

Pernah suatu kali, Tami, penunggu Rumcay selama berpuluh-puluh tahun (enggak sih, sebenernya baru satu tahun lebih), yang sudah sangat hapal ukuran setiap sudut Rumcay dan sudah akrab dengan binatang-binatang kecil yang numpang tinggal di rumah baca hijau imut yang terletak di pertigaan di kawasan Depok II Timur itu, marah besar dan ngambek seharian gara-gara nasi plus ayam bakar yang jadi menu makan siangnya kala itu, lenyap dilahap Denny saat ia sedang ke kamar mandi. Padahal ia cuma lima menit di kamar mandi. Tapi ketika ia keluar dari kamar mandi, makanannya hilang tak berbekas. Sepertinya makanan itu tak pernah ada sebelumnya. Lalu tanpa perasaan berdosa dan mimik yang dibuat sepolos-polosnya, dengan enteng Denny mengatakan,

“Digondol kucing kali Tam,”

“Iya, Tam. Kucing garong yang gede banget warna item. Sekarang kucingnya juga masih ada di sini.” Sahut Kang Lian tanpa melepaskan pandangannya dari notes kecil berisi puisi tentang pelangi buatannya.

“Mana? Mana?” Tanya Tami sewot. Ia sudah berdiri sambil memegang sapu ijuk untuk didaratkan ke tubuh hewan liar yang telah seenaknya menyantap makan siangnya.

“Kayanya kemaren kucingnya baru launching novel perdananya Pemuda Dalam Mimpi Edelweiss.” Sahut Lian lagi, dan lagi-lagi tanpa melepaskan pandangannya dari puisi tercintanya.

“Mas Denny...!!!” Walhasil sapu ijuk yang tadi masih bertahta di tangan Tami, sekarang telah mendarat dengan sukses tepat di kaki Denny setelah diterbangkan cukup cepat oleh tangan mungil Tami.

“Adaoowww...!”

Hendra dan Koko yang juga ada disitu tak bergeming dengan kejadian itu, mereka asyik saja dengan aktivitasnya masing-masing. Hendra main game di komputer, dan Koko tidur-tiduran sambil baca buku. Sebab kejadian sejenis itu sudah tak terhitung jumlahnya, jadi mereka biasa saja.

Balik lagi soal Denny yang tidak nafsu makan, sebenarnya sudah tiga empat hari ini semua penghuni Rumcay merasa aneh. Karena Denny bukan hanya tidak nafsu makan yang membuat penghuni Rumcay bisa tenang meninggalkan makan siangnya sembarangan tanpa takut hilang ditelan bumi (di telan Denny maksudnya), tapi setiap kali datang, ia juga tidak pernah lagi menyunggingkan senyum TPTA alias Tebar Pesona Tiada Akhir yang biasa dilakukannya. Lemah, lesu, lelah, letih, tak ada gairah, seperti orang tidak bisa bayar hutang. 

Bahkan tidak hanya mogok makan, tapi sejak kemarin Denny juga mogok bicara. Efeknya lebih parah daripada Hendra waktu sakit gigi yang membuat pipinya menggembung satu setengah sentimeter.

Sekarang setiap kali Denny datang ke Rumcay, kerjanya cuma duduk di depan komputer sambil menekan tuts-tuts di keyboard entah menulis apa. Gara-gara itu Tami sang penungggu Rumcay jadi sering bersungut-sungut karena tidak bisa main game di komputer.

Kalau Denny sudah di depan komputer, tidak ada yang berani mendekat, tidak ada yang berani mengajak bicara. Bukan karena apa-apa, tapi barangsiapa yang mencoba mengajaknya bicara, niscaya pasti dicuekin.

Semua penghuni Rumcay sudah berusaha sudah berlomba membuat Denny buka mulut dengan berbagai cara. Hendra meniru gaya sinchan, Koko bernyanyi dengan suara sembernya, Lian baca puisi keras-keras sampai Pak RT datang marah-marah karena kegaduhan di rumah itu sudah melebihi ambang batas suara normal yang sanggup di dengar oleh manusia biasa. Tami dan Rifa berbaik hati membelikan Edam Burger di seberang Rumcay khusus untuk Denny. Tapi semua finalis gagal. Denny belum mau buka mulut.

Akhirnya semua sepakat pada satu kesimpulan, Denny sedang jatuh cinta!

Cinta tak dapat disembunyikan
Dari mata orang yang sedang jatuh cinta

– John Crowne –

Siang yang agak mendung, seperti biasa, Denny sedang menekuni layar kaca komputer sambil menekan-nekan tuts di keyboardnya. Tanpa disadarinya, sesosok makhluk bernama Koko sudah berdiri dibelakangnya sambil menatap lurus ke layar komputer, kemudian membaca keras-keras,

“P-U-I-S-I C-I-N-T-A B-U-A-T D-I-L-L-A...” 

Sontak semua yang ada di situ menghentikan aktivitasnya sambil berucap,

“Ooo...namanya Dilla...”

Akhirnya, sepersekian dari teka-teki itu terjawab sudah. Penulis terkenal sejagad raya, Denny Prabowo, sedang jatuh cinta dengan seseorang bernama Dilla.

“Mas Denny kok nggak mau cerita sih, sama kita-kita kalo lagi jatuh cinta.” Ujar Rifa

“Iya nih, kaya kita orang lain aja. Kita kan udah kenal lama, masa nggak percaya sih sama kita?” Tambah Koko.

“Cerita dong, ntar kita bantuin deh.” Tami ikut sumbang suara.

Yang ditanya bukannya menjawab, malah ngeloyor pergi, berjalan keluar pintu, keluar pagar, berdiri sebentar, naik angkot, pulang. Semua bengong.

****

Pagi itu, Rumah Cahaya heboh.

“Pokoknya sebagai teman, kita harus membantu Mas Denny.” Koko sang ketua FLP Depok bicara dengan semangat berapi-api layaknya orator aksi mahasiswa yang biasa mangkal di depan gedung DPR MPR.

“Setuju...!!” Yang lain menjawab dengan tak kalah semangat layaknya mahasiswa peserta aksi kenaikan harga BBM yang beberapa waktu lalu sudah lima kali bolak-balik aksi di depan gedung DPR namun harga BBM nampaknya tak mau turun juga.

“Tapi kita kan nggak tau, Dilla itu siapa. Tanya sama Mas Denny nggak mungkin, trus gimana dong?” Tanya Rifa.

“Kalo gitu, kita harus mulai mencari petunjuk siapa sebenarnya Dilla.” Ujar Koko mulai sok detektif.

“Ada yang punya ide bagaimana mencari petunjuk?” Semua diam berpikir.

“Coba cari di database FLP Depok. Kali aja ada yang namanya Dilla,” Usul Lian. Kemudian Koko mengobrak-abrik file database anggota FLP Depok.

“Nggak ada tuh, nggak ada nama yang ada dillanya”

“Nama pena kali,” Sahut Rifa.

“Yah, kalo gitu mana bisa tau. Di database kan nggak disuruh tulis nama pena.” Mendengar jawaban Koko sang kepala suku FLP Depok, serentak semua bilang,

“Yah...” Ditengah kelesuan semua penghuni Rumcay, tiba-tiba seorang penulis yang menulis karena kemampuan komunikasinya kurang alias pendiam, Rifa, mencoba mengkomunikasikan idenya. Untungnya kali ini tidak dalam bentuk tulisan.

“Aku punya ide!” Teriak Rifa semangat.

“Gimana kalo kita cari tau no.telponnya di HP Mas Denny, ntar tinggal kita atur strategi untuk kenalan sama Dilla via telpon.”

“Boleh..boleh..bagus tuh idenya.” Hendra menjawab juga dengan semangat.

****

“Mas Denny...boleh pinjem HP gak?” Dengan suara dibuat semanis mungkin, Hendra merayu Mas Denny untuk meminjamkan HP-nya.

Kemudian Denny yang dari tadi sibuk menekuri layar komputer tiba-tiba menuliskan sesuatu di layar pada program powerpoint:

MAU NGAPAIN ?

Hendra yang tidak memperhatikan layar komputer, masih terus memanggil-manggil, “Mas, Mas Denny...!” Namun sejurus kemudian ia melihat jawaban Denny tertulis di komputer.

“Mo sms satu kaliiii... aja!”

Kemudian di layar muncul lagi:

NGGAK BISA NGGAK ADA PULSA

Melihat jawaban tidak memuaskan di layar, Hendra mengeluarkan isyarat-isyarat aneh pada Tami yang sejak tadi memperhatikan usaha Hendra mengambil HP Denny. Jika isyarat-isyarat tersebut diterjemahkan kira-kira artinya: “Yah...gimana nih Tam?”

“Mas, aku liat HP dong, mo nyatet nomor telponnya Mba Asma. Besok ada proposal yang harus ditandatanganin Mba Asma.” Ujar Tami sigap menutupi kegagalan Hendra.

Sayangnya, di layar kembali tertulis:

NGGAK ADA NO.MBA ASMA DI HP-KU

****

Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, berbagai usaha telah dilakukan para penghuni Rumcay untuk mencari tahu apa dan siapa Dilla. Seseorang yang telah meluluhkan hati Denny setelah tujuh tahun Denny tidak lagi berpikir tentang itu. Lukanya tujuh tahun silam membuatnya trauma untuk kembali membuka pintu hati bagi seorang hawa untuk masuk ke dalamnya.

Hendra adalah satu-satunya penghuni Rumcay yang tahu tentang masa lalu Denny. Dia belum lupa bagaimana di suatu siang yang panas di Rumcay yang sejuk, kala itu mereka sedang ngobrol-ngobrol. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba Hendra bertanya pada Denny.

“Mas Denny kenapa sampe sekarang belom nikah-nikah?”

“Nggak ada yang mau.”

“Ah, yang bener, masa udah jadi penulis terkenal nggak ada yang mau. Royaltinya aja dalam sebulan udah ngalahin gaji pokok pegawai negeri eselon satu. Ntar deh, Hendra cariin. Mo yang kaya gimana sih?”

Tiba-tiba Denny terdiam. Mimiknya berubah mendung, dia teringat tentang kisah tiga tahun silam. Andriyani. Perempuan yang dikenalnya di kantor redaksi sebuah majalah remaja tempat Denny biasa menyerahkan cerpen-cerpennya untuk sekedar dimuat di majalah tersebut .

Sebuah perkenalan yang tak disengaja, yang membawa mereka pada sebuah pertautan emosi dan jiwa. Dan semuanya berakhir, tragis, ketika sang bidadari yang diharapkan menjadi belahan jiwanya pergi bersama sang pangeran yang lain*. Dan cerita tentang masa lalu yang penuh luka itu mengalir begitu saja dari mulut Denny. Hendra yang dari tadi sibuk menyimak kisah itu kini paham kenapa abangnya yang sudah menjelang kepala tiga itu kini masih saja membujang.

“Mas Denny masih berharap sama dia?”

“Nggak sih, tapi masih belum bisa membuka pintu untuk yang lain. Lagian takut berakhir tragis lagi.”

Dan Hendra cuma manggut-manggut mendengar cerita abangnya yang lima tahun lebih tua darinya. Dan setelah tiga tahun lamanya, Hendra berpikir bahwa sekarang abangnya sudah membuka kembali pintu hatinya untuk seseorang. Dilla.

****

“Tam, pokoknya kita harus bantuin Mas Denny. Nggak peduli gimana caranya, kita harus cari tau siapa Dilla. Kita harus bilang sama Dilla tentang perasaan Mas Denny sama dia.”

“Emangnya dari kemaren kita ngapain? Tapi gimana kita mo tau kalo petunjuknya cuma nama, kemaren Rifa udah nyari di friendsternya Mas Denny, tapi nggak ada temennya yang namanya Dilla.”

“Si Dilla belom bikin friendster kali.”

“Terus gimana dong?”

Tiba-tiba yang diomongin datang, seperti biasa. Datang, langsung duduk di depan komputer tanpa salam atau basa-basi. Tak berapa lama kemudian, sebuah lagu anak-anak yang biasa dipelajari di bangku taman kanak-kanak karya Pak Kasur, Balonku, mengalun dari ringtone polyphonic handphone milik Denny. Dia mengeluarkan HP dari saku jeans-nya, melihat layarnya sebentar, kemudian me-reject-nya. Setelah itu ia meletakkannya di meja sebelah komputer.

Pucuk dicinta ulam tiba, begitu kata pepatah. HP yang sejak kemarin diincar oleh sepuluh pasang mata penghuni Rumcay, kini ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Denny berjalan ke kamar mandi tanpa membawa HP-nya. Empat pasang mata yang sejak tadi sudah mengintai HP itu dengan seksama, kini seperti kucing yang belum makan lima hari dan kini didepan matanya disuguhi ikan asin. Tanpa pikir panjang mereka mengambil HP tersebut.

“Cepet cari Tam!”

“Iya, iya. Ini juga lagi dicari.” Tami sibuk mencari sebuah nama di phonebook HP itu.

“Ada, ada nih!”

“Mana? Mana?” Mereka mencatat sebuah nomor yang diincar sejak kemarin. Setelah itu meletakkan kembali HP tersebut tepat pada posisi awalnya. Bahkan tepat hingga kemiringan sudut awalnya. Seolah-olah HP itu tidak pernah disentuh oleh siapapun kecuali pemiliknya.

****

Siang itu Rumcay kembali dihebohkan oleh suara-suara penghuninya. Mereka akan melancarkan secret mission untuk mencari tahu siapa Dilla.

“Gimana nih? Pura-pura salah sambung terus kenalan apa langsung bilang aja temennya Denny?” usul Lian.

“Jangan langsung bilang temennya Denny. Ntar kalo dia nggak suka sama Mas Denny, dia nggak mau ngomong sama kita juga lagi,” timpal Rifa.

“Udah, bilang aja cari Dilla. Pura-pura dari temen lamanya.” Tambah Koko.

“Yang mo nelpon siapa?” Tanya Hendra

“Rifa aja, kali aja kalo sesama perempuan jadi lebih enak,” kata Lian.

Saat yang ditunggu tiba, akhirnya mereka akan memecahkan misteri siapa Dilla.

“Halo,” sapa Rifa kepada suara di seberang.

“Bisa bicara dengan Dilla?” Suara di seberang menjawab dengan suara tenor yang bersih layaknya seorang penyiar radio.

“Ya saya sendiri,” Jawab suara di seberang. Rifa bingung.

“Loh, kok ?” Rifa semakin bingung. Yang lain menunggu dengan tidak sabar.

“Ya, saya Ratno Fadilla.” Pemilik suara tenor itu kembali menjawab dengan sopan.

Belum sempat Rifa memutus jalur selulernya dari nomor seorang bernama Ratno Fadilla, dari luar Denny datang dengan senyumnya yang dibuat semanis mungkin. Ini pertama kalinya dia kembali menyunggingkan senyum TPTA-nya sejak dua minggu lalu ia menyatakan diri tidak nafsu makan.

“Hello, everybody. Ada yang laper? Saya bawa makanan banyak nih.”

“Loh? Mas Denny kok tumben ceria amat?” tanya Hendra diikuti tatapan aneh dari seluruh pasang mata yang ada di situ.

“Iya nih, Puisi Cinta saya diterima.”

“Sama Dilla?” Tanya Rifa.

“Sama penerbit. Seminggu lagi jangan lupa pada beli novel kedua saya. Judulnya Puisi Cinta Buat Dilla.”

Gubrag!

 

Depok, 5 april 2005

tiga hari setelah konser yang melelahkan

 



0 komentar:

Posting Komentar