Penggalan-penggalan Kisah Lalu
Malam itu, Edelweiss dan Fajar duduk saling berhadap-hadapan di meja makan.
“Ceritakan padaku semua yang Mas tahu tantang Ayah…!” Foto ayahnya yang telah diberi bingkai olehnya tergeletak di atas meja makan, di hadapannya.
“Tak banyak yang aku ingat.”
“Ceritakan sebatas yang Mas Fajar ingat.”
Fajar mendesah. Dia meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya. Makanan di dalam piringnya masih tersisah setengah. Dipandanginya wajah Edel sendu.
“Baiklah.”
Fajar menarik nafas berat.
“Kira-kira tujuhbelas tahun yang lalu saat Bunda sedang mengandung dirimu…,” Fajar mulai bercerita…
^^^
Jarum jam merangkak perlahan menuju angka sepuluh. Belum ada tanda-tanda suaminya akan datang. Wanita itu membuang pandangannya lurus ke depan membelah tembok gedung-gedung bertingkat di seberang restoran. Dia duduk di dekat jendela yang memungkinkannya menikmati renik-renih hujan.
Ada kecemasan membekap pengap dadanya. Sehingga dia seperti jadi sulit bernafas. Kecemasan yang tak ia mengerti. Ketakmengertian yang membuatnya seperti orang bingung. Kadang ia bangkit dari tempat duduknya, merapat ke jendela, menuliskan kata-kata yang menghabur begitu saja dari alam bawah sadar dengan telunjuk tangannya di atas kaca jendela yang beruap. Kemudian kembali ke mejanya, menyeruput jus jeruk, yang entah sudah gelas ke berapa…ia belum memesan makanan. Wanita itu seperti terjebak dalam putaran waktu yang tak mau menunggu. Padahal, suaminyanya belum juga datang menepati janjinya.
Hari ini merupakan hari ulang tahun pernikahannya. Genab tigabelas tahun mereka mengarungi bahtera rumahtangga bersama. Putra mereka telah berusia 12 tahun. Suaminya telah berjanji untuk pulang hari ini. Sudah sejak lama ia merencanakan makan malam spesial di tempat yang biasa mereka kunjungi setiap akhir pekan. Ada kejutan yang ingin ia sampaikan kepada suaminya tepat di hari jadi pernikahannya.
“Bunda, Ayah kok belum datang juga?” tanya putranya yang duduk di hadapannya. Bocah itu kelihatan sudah mulai mengantuk.
Wanita itu membelai kepala anaknya. Suaminya tak pernah mendustai janji. Apa pun yang diminta istrinya, selalu dia tepati. Tapi malam ini… Wanita itu meraba perutnya yang sedikit membuncit.
Sang waktu terusa melahap detik-detik di hadapannya.
^^^
Seminggu sebelum malam itu…
Angin berhembus sangat kencang, bergemuruh di celah ranting-ranting pepohonan yang terombang-ambing mengikuti gerak angin yang menghempasnya dari segala arah. Keretap kilat menyambar dinding-dinding udara, membentuk rengkahan cahaya di angkasa, melahirkan gelegar yang menggetarkan.
“Kita harus segera turun ke pos Samyan Rangkah!”
“Tendanya gimana?”
“Tinggal aja!!”
Kemudian ketiga mahasiswa pendaki itu bergegas mengenakan jas hujannya, mengendong keril, lalu berlari di tengah badai yang membekukan meninggalkan batas vagetasi, Sampyan Jampang, menuju Sampyan Rangkah.
Jatuh bangun mereka menyusuri setapak yang menyempit dan licin karena siraman air hujan. Angin seolah mengepung dari segala arah.Petir berkeretap.
^^^
Lelaki itu mengepak perlengkapan mendakinya ke dalam keril di kamar tidur mereka.
“Kamu jadi berangkat?”
“Jadi.”
“Harus?” Wanita itu menatap matanya, seolah berharap lelaki itu akan membatalkan kepergiannya.
Lelaki itu tersenyum. Dia berhenti sejenak. Lalu dibelainya kepala istrinya yang berjilbab. Disentuhnya wajah wanita itu dengan jemari tangannya, lembut.
“Mereka membutuhkan aku untuk mencari ketiga mahasiswa asal Yogya yang hilang di Gunung Slamet sejak beberapa hari yang lalu. Aku tahu bagaimana rasanya tersesat di belantara di tengah musim hujan seperti ini.”
Wanita itu menunduk. Dia bisa memahami alasan suaminya. Kemampuan yang dimiliki suaminya sedang dibutuhkan untuk membantu tim SAR menemukan ketiga pendaki yang hilang itu. Lelaki itu memiliki reputasi yang luar biasa untuk urusan yang satu itu. Dia merupakan salah satu dari anggota Mapala universitasnya yang menjalani program seven summit. Karena sebuah kecelakaan yang menimpa dirinya pada hari pertama pendakian dan kedua temannya di hari kedua pendakian dalam sebuah ekspedisi pendakian di Gunung Aconcagua, program itu dihentikan.
“Tapi kamu nggak lupa sama janji kamu kan?”
Segaris senyum terbit di wajah tampan lelaki bermata elang itu.
“Aku akan berusaha menepati janjiku!”
“Janji, ya?”
“Insya Allah.”
Lelaki itu mengangguk. Wanita itu tersenyum, melabuhkan kapalanya di bidang dadanya.
^^^
Blaaaaarrrr…!!!!
Kraaaakkk….
“Awas!"
Sebatang pohon tumbang tersambar petir dari arah belakang. Pemuda berwajah tirus itu melompat menerjang kedua temannya yang berjalan di depan, menghindari batang pohon yang tumbang ke arah mereka. Mereka berguling-guling di atas setapak yang berkerikil. Beruntung, pada ketinggian ini, pohon-pohon yang tumbuh tidak terlalu besar. Sehingga mereka terhindar dari terjangan pohon yang tumbang tersambar petir.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya pemuda itu melihat kondisi temannya yang terlempar tak jauh darinya.
Temannya memegangi sikutnya yang mengeluarkan darah. Pemuda itu langsung membuka slayer di kepalanya, lalu dibebatnya sikut temannya yang terluka.
“Akh! Pelan-pelan!”
“Beres. Lumayan, bisa menghambat pendarahan.”
“Woi… tolongin aku dong! Kakiku terkilir!”
Kedua mahasiswa itu bertukar pandang. Kemudian mereka segera menghampiri seorang temannya yang masih terduduk di bawah sebatang pohon sambil memegangi kaki kanannya.
“Bisa jalan?”
“Ndak bisa digeraki. Sakit sekali!” Meringis kesakitan.
Pemuda berwajah tirus itu membantunya berdiri. Lalu memapahnya berjalan menuruni lereng terjal.
^^^
Ketiga mahasiswa asal Yogya itu tak pernah sampai ke Sampyan Rangkah. Badai yang menyelubungi gunung itu membuat segalannya menjadi kabur di mata mereka. Ketiganya tersesat. Keletihan mendera. Seorang teman mereka mulai kehilangan kesadarannya. Pemuda berwajah tirus itu melanjutkan perjalanannya menuruni gunung itu. Sementara seorang temannya menunggui temannya yang lain yang mulai kehilangan kesadarannya. Namun tak cukup jauh dia melangkah, pemuda itu mulai kepayahan. Perlahan, kesadarannya pun mulai menghilang. Seorang temannya yang ditugasi menunggui teman lainnya, menyusulnya. Melihat pemuda berwajah tirus itu terkapar di tanah, di segera bergegas mencari bantuan. Tapi sia-sia. Dia pun akhirnya harus kehilangan kesadarannya.
Keesokan harinya, tubuh ketiga mahasiswa asal Yogya itu ditemukan lelaki bermata elang sudah tak bernyawa. Dia bersama tim SAR dan beberapa sukarelawan yang ikut melakukan pencarian, segera mengevakuasi jasad ketiga mahasiswa itu. Namun ketika mereka tiba di Sampyan Rangkah, tiba-tiba…
Kratap…
Blaaaaarrrrr…!!!!
“Allahu akbaaarrrrrr...!!!!
^^^
Wanita itu tersentak dari lamunannya. Restoran berubah menjadi gelap, sesaat setelah guntur menggelegar. Suasana di dalam restoran jadi hiruk pikuk. Beberapa saat kemudian lampu kembali menyala, mereka menggunakan generator untuk menyuplai listrik.
Beberapa pengunjung restoran beranjak ke luar. Mereka ingin mencari tahu penyebab listrik padam. Wanita itu tidak ikut keluar. Ia hanya merapat ke jendela di dekat mejanya. Dari tempat itu ia bisa melihat sebuah tiang listrik yang roboh tersambar petir. Di dekatnya, sebuah sedan hitam hancur bampernya ditabrak mini bus yang tak sempat menghindar saat sedan hitam di depannya tiba-tiba saja menghentikan lajunya. Pemilik sedan hitam marah-marah. Pengendara mini bus tak kalah marah. Terjadi perang mulut. Seorang petugas polisi datang melerai. Orang-orang hanya berdiri mengerumuni.
Wanita itu kembali ke kursinya. Ia merasakan sebuah keanehan. Gelegar guntur tadi seolah telah menyambar pula kecemasannya. Kecemasannya tiba-tiba saja menguap! Kini ia malah merasakan kehampaan. Seperti ada yang hilang. Entah apa…
Dan ia pun tiba-tiba saja begitu meyakini kalau suaminya tak akan pernah datang menemuinya malam itu. Keyakinan yang datang sesaat setelah guntur menggelegar. Seperti sebuah firasat.
Wanita itu memanggil seorang pelayan restoran. Seorang pemuda berseragam pink menghampiri dirinya dengan membawa buku pesanan di tangannya.
“Mau tambah, Mbak?”
“Saya mau minta tagihannya.”
“Oh, sebentar.” Pelayan itu meninggalkannya.
Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa kertas tagihan.
“Tujuhpuluhribu rupiah,” katanya seraya menyerahkan kertas tagihan kepada wanita itu.
Wanita itu mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dopetnya, menyerahkan uang itu kepada pelayan restoran yang tak lepas-lepas menyunggingkan senyum kepadanya. Entah senyuman itu berasal dari ketulusan, atau hanya sebuah perangkat untuk memikat pengunjung restoran itu, ia tak mempedulikannya.
“Mau saya panggilkan taksi?”
“Terima kasih. Saya bawa mobil sendiri.” Kemudian wanita itu beranjak keluar meninggalkan restoran yang mulai sepi pengunjung bersama anaknya yang tampak sangat mengantuk.
Sepanjang sisa malam, wanita itu hanya berputar-putar dengan mobilnya tak tentu arah. Dia berharap menemukan jawaban dari kehampaan yang tiba-tiba saja menyergap. Sebuah perasaan yang mirip rasa kehilangan. Hanya saja ia tak tahu apa yang telah menghilang dari dirinya… Anaknya terlelap di kursi belakang.
Dia mencoba menghubungi ponsel milik suaminya. Suara mesin operator yang menjawab. Berulangkali dia mencoba. Berulangkali mesin operator menyapa. Mobil meluncur membelah gerimis yang mulai mereda, membawa sekeping hati yang hampa.
Keesokan harinya menjelang petang, kehampaan yang tiba-tiba saja membekap hatinya sesaat setelah guntur menggelegar tadi malam, terjawab oleh berita di layar kaca.
"Kemarin malam, ketiga mahasiswa asal Yogya yang menghilang di Gunung Slamet berhasil diketemukan tak berapa jauh dari pos Sampyan Rangkah. Saat diketemukan, ketiganya sudah tak bernyawa. Badai yang masih belum mereda hingga berita ini diturunkan, juga telah menelan korban seorang anggota tim SAR. Lelaki yang pertama kali berhasil menemukan ketiga mahasiswa itu tewas tersambar petir di pos Sampyan Rangkah."
Suara telepon berdering. Wanita itu segera mengangkatnya. Suara seorang pria di seberang sana terdengar bergetar memeram kesedihan, saat harus menyampaikan berita duka kepada wanita itu. Dia mengatakan kalau jasad suaminya akan tiba di Jakarta besok pagi.
Kabut berpendar di bolamatanya. Dadanya bergemuruh menyaksikan gambar di televisi, saat tim SAR mengevakuasi jasad suaminya.
“Bunda, Ayah belum pulang ya?”
Wanita itu mendekap tubuh anak lelakinya erat. Tak berbilang airmata yang retas membanjiri kedua belah pipinya. Tangan kirinya meraba perutnya yang mulai membuncit. Dia sedang mengandung.
^^^
Fajar menghapus airmata yang melinang di kedua belah bolamatanya. Kenangan tujuhbelas tahun yang lalu membayang-bayang di pelupuk matanya. Saat dia dan Bunda menunggu Ayah di restoran malam itu.
“Aku mendengar cerita itu dari Bunda. Tak banyak yang aku ingat kecuali saat aku dan Bunda menunggu ayah di restoran malam itu.” Suaranya bergetar.
“Ayah…,” Edelweiss mendekap foto Ayahnya. Baca bab selanjutnya
0 komentar:
Posting Komentar