HAMZAH Puadi Ilyas duduk di kamarnya. Sendiri. Lelaki itu punya waktu dua jam untuk berdialog dengan netbooknya sebelum melangkah menuju tempat aktivitas, Universitas Al-Azhar Indonesia, Akademi Teknik Telekomunikasi (AKATEL) Telkom Sandy Putra, dan kampus UHAMKA, Jakarta. Pada dua lembaga pendidikan pertama ia menjadi pendidik Bahasa Inggris, sedangkan di UHAMKA, ia menjadi mahasiswa strata 2 Pendidikan Bahasa Inggris.
Jemarinya menari-nari di atas keyboard. Dulu, jari-jari Hamzah senang meliuk di atas kertas, berdansa dengan pinsil atau pena. Bait-bait puisi terlahir dari goresan jarinya. Padahal bocah berseragam putih merah seperti dirinya, kebanyakan tidak suka bergaul dengan kata-kata indah. Kebanyakan temannya lebih suka berlari ke sana ke mari melatih otot dan persendian yang belum sempurna benar perkembangannya. Sedangkan ia, lebih cinta bercengkrama dengan bait-bait puisi.
Hamzah anak ke-5 dari 7 bersaudara. Salah satu kakaknya, guru bahasa Indonesia. Koleksi buku-buku puisi dan roman klasik saudara tuanya itu menarik Hamzah ke dunia kata-kata. Tangan mungilnya tergerak menulis puisi tentang sepatu, buku, kucing, juga cinta. Untuk tema terakhir ia tuliskan berdasarkan pesanan seorang kakak yang tengah patah hati. Kakaknya yang lain menegur dengan kalimat, ”ini puisi untuk orang dewasa, bukan anak-anak!” Tak heran jika ia kemudian memenangkan juara harapan mengarang Hari Pendidikan Nasional di Tangerang saat duduk di bangku kelas 4 SD. Kecintaan pada puisi dan kekagumannya akan Chairil Anwar sempat membuatnya bercita-cita untuk menjadi penyair, ia berniat kuliah di Fakultas Sastra.
Beranjak remaja, puisi tak lagi menarik di hatinya. Ia beralih menulis lebih panjang, cerita-cerita fiksi ketika berseragam putih-biru sampai berganti pakaian putih abu-abu keasyikannya bermain dengan kata-kata terhenti. Biologi menarik perhatiannya, profesi dokter terbayang sebagai masa depannya. Ia belajar sekuat tenaga untuk meraih nilai sempurna. Di tengah langkah meraih nilai-nilai tersebut, guru bahasa Indonesia menugaskan para siswa membuat cerpen. Hamzah kembali merangkai kalimat dalam kertas berlembar-lembar. Cerpennya menuai pujian dari guru. Rasa bangga semakin memenuhi dadanya ketika cerpen itu terpajang di majalah dinding sekolah. Namun sosok dokter tetap terpatri dalam benaknya.
Hamzah bertekad mengenakan yellow jacket di Fakultas Kedokteran UI. Sayang, ia belum berhasil. Jika harus meneruskan langkah di Fakultas Kedokteran Universitas Swasta, ia harus menyiapkan bergepok-gepok rupiah. Hamzah berdamai dengan keadaan, memilih jurusan lain. Hamzah sempat berganti 3 jurusan dan 2 universitas sampai akhirnya memantapkan hati untuk menimba ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing (STIBA) Nusa Mandiri Jakarta, karena hanya di kampus itulah ia bisa kuliah sambil bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di LBPP LIA sejak tahun 1999.
Di perguruan tinggi, kembali ia mendapat tugas menulis. Mau tak mau Hamzah harus bercengkrama dengan kata-kata lagi. Kenangan lama hadir kembali. Kepuasan kembali menyusup dalam hatinya ketika tulisannya dipuji dan dimuat oleh harian ibu kota berbahasa Inggris. Dan hamzah menetapkan penulis sebagai profesi lainnya. Dan ia mengikrarkan diri untuk menulis 500 novel sebelum mati!
Hamzah menulis di mana saja, kapan saja. Terkadang hanya dalam bentuk coretan-coretan kecil, lalu diperbaiki hingga belasan kali sampai akhirnya menjadi sebuah cerpen. Menulis membantu pikirannya ke jalan lurus, mengusir gundah gulana akibat komentar-komentar menyentil orang-orang di sekitarnya. Dengan menulis ia cuma ingin terkenal, kaya raya, dan masuk surga. Karena itu ia bergabung dengan FLP Depok pada pertengahan 2006. Hamzah rela menempuh jarak Slipi-Depok untuk menemukan orang-orang satu visi satu misi dengannya.
Hamzah masih berdialog dengan netbooknya. Sebuah cerpen ia tekadkan harus rampung hari ini juga, guna menambah jejeran 24 cerpen yang sudah tersebar di berbagai media cetak nasional. Terkadang ia membuat cerpen dalam dua versi, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Cerpen yang satu bisa berkembang menjadi dua karena perbedaan bahasa. Kemahiran berbahasa Inggris jugalah yang mengantarkannya ia menjadi penerjemah novel Monster Ring dan Dragon Hatcher karya Bruce Coville, diterbitkan oelah Penerbit Matahati.
Buku-buku atas namanya yang sudah terpajang di toko-toko buku adalah Novel Mata Mutiara (Mediakita, Maret 2006), Novel Puteri Obese (Grafindo, September 2008) dan Novel Jejak Keruh (Novel - Grafindo, September 2008). Antologi cerpennya “Ciumlah Aku di Ujung Subuh” (Masmedia Buana Pustaka, Mei 2009) juga telah beredar di pasar buku. Novel Mata Mutiara menjadi kajian untuk skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Universitaa Negeri Gorontalo, dua cerpennya dalam Bahasa Inggris menjadi kajian skripsi mahasiswa Sastra Inggris UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, sedangkan cerpen Lelaki yang Pulang, yang diterbitkan Suara Karya dan ‘Majalah ALIA’ menjadi bahan ajar di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.
Hamzah melirik jam di dinding. Sudah lewat dari pukul tujuh. Jarum panjang jam merambat ke angka delapan. Hamzah menutup netbooknya. Mengenakan pakaian, bercermin, dan memeriksa lagi barang-barang yang akan dibawa serta. Hamzah mengunci kamarnya, satu dari sekian kamar para lajang di bilangan Slipi, Kemanggisan. Ia melangkahkan kaki menuju takdirnya yang hanya diketahui ALLAH. (Koko Nata, kokonata@gmail.com)
GALERI KARYA HAMZAH PUADI ILYAS
0 komentar:
Posting Komentar