profil flp depok

keceriaan

ketekunan

kebersamaan
FLP Depok Menerima Anggota Baru Angkatan VIII # mau bergabung klik Form Pendaftaran

Kasih Ibu

Selasa, 08 September 2009


Kak Depo

Atik sedang asyik main lompat karet, saat ibu memanggilnya. “Atik, kemari sebantar, Nak!” Ibu berdiri di ambang pintu rumah. Dari dalam rumah terdengar raunganadik semata wayangnya. Dia segera tahu mengapa Ibu memanggilnya.


  Tapi tanggung. Hanya tinggal beberapa kali lompatan lagi dia memenangkan permainan. Bocah perempuan yang rambutnya selalu dikepang dua itu tidak menghiraukan panggilan ibunya. Dia terus saja bermain lompat tali.

  “Atik… cepat kemari!” suara Ibu kali ini trerdengar lebih keras dari sebelumnya.

  “Sebentar, Bu,” sahut Atik sambil terus melompat-lompat di atas tali karet.

  “ATIK!!!” suara Ibu menggelegar seperti guntur.

  Kalau sudah begitu, Atik tak punya pilihan lain. Dia harus menunda kemenangannya. Teman-temannya gembira karena mereka tidak harus merasa kalah lagi dari Atik. Bocak lincah itu memang paling juara kalau main lompat tali. Atik berlari menghampiri ibunya sambil bersungut-sungut.

  Sambil bersungut-sungut pula Atik menggendong adik bayinya. Ningrum nama adik kecilnya itu. Usianya belum genap 10 bulan. MulanyaAtik sangat bahagia karena memiliki seorang adik perempuan. Tapi sejak adik bayinya mulai belajar merangkak, Ibu sering memintanya menjaga adik bayinya itu. Awalnya sih senang-senang saja. Apalagi adiknya itu sangat lucu. Namun lama ke lamaan, dia mulai merasa terganggu dengan tugas dari ibunya itu. Seperti sekarang, saat dia sedang asyik bermain lompat tali dengan teman-temannya, Ibu yang sedang sibuk memasak di dapur memintanya menjaga adik bayinya.

  “Huh, merepotkan saja!” gerutu Atik, menepuk pantat Ningrum. Adiknya yang sudah mulai berhenti menangis, kembali menangis. Bahkan suara tangisnya lebih keras dari sebelumnya!

  “Atik!” Ibu berteriak dari dapur, “kamu apakan sih adikmu?!”

  “Nggak Atik apa-apakan kok, Bu,” katanya berbohong. Buru-buru dia menggendong adiknya keluar rumah.

^^^

  Sore hari. Atik duduk tenang di depan layar televisi. Dia sedang menonton film kartun. Dia suka sekali nonton film kartun. Daisy Duck merupakan tokoh kartun kegemarannya. Tapi sayang, film kartun produksi Walt Disney itu tak lagi ditayangkan di TV. Satasiun TV lebih suka menayangkan acara infotainment yang isinya seputar gossip para artis dan selebritis. Atik tidak suka tayangan infotainment. Dia tidak suka melihat tayangan yang membicarakan aib seseorang.

  Ibu yang baru kembali dari menghadiri acara arisan bulanan di lingkungan tempat tinggalnya, geleng-geleng kepala melihat daun-daun kering yang berserakan di pekarangan rumahnya. Padahal Ibu sudah sering mengatakan pada Atik, untuk menyapu teras rumah setiap pagi dan petang.

  “Kenapa teras depan belum disapu?” tanya Ibu saat melihat Atik yang sedang asyik menonton televisi.

  “Sebentar, Bu. Atik lagi nonton.”

  “Kalau filemnya sudah habis, segera sapu teras depan!” perintah Ibu kepadanya. Atik mengganggukkan kepalan lemah.

  Setelah filmnya selasai, Atik beranjak ke teras depan dengan membawa sapu dan pengki. Di depan rumah Atik tumbuh sebatang pohon blimbing yang daunnya selalu mengotori pekarangan rumahnya. Setiap hari dia harus menyapu daun-daun yang berserakan mengotori pekarangan rumahnya itu. Sambil menyapu, mata Atik terus mengawasi tanah lapang yang ada di depan rumahnya. Dia melihat teman-teman sebayanya sedang asyik bermain lompat tali. Kalau saja tak takut dimarahi oleh Ibu, dia pasti sudah berlari menyusul teman-temannya itu.

  Teras depannya rumahnya sudah terbebas dari daun-daun blimbing yang mengotorinya. Tugas gadis kecil yang pipinya bulat kemerah-merahan itu sudah selasai. Atik berlari ke dalam rumahnya, menyimpan sapu dan pengki. Kemudian berlari kembali ke luar rumah. Masih ada waktu beberapa menit sebelum adzan Maghrib bergema. Dia ingin selekasnya bergabung dengan teman-temannya yang sedang asyik bermain lompat tali. Tapi belum lagi langkahnya melintasi ambang pintu rumah, terdengar suara Ibu memanggil dari dalam rumah.

  “Atik kemari, Nak!”

  “Ah, apalagi sih?!” sungut Atik kesal. Dia berlari menghampiri ibunya.

  “Tolong belikan Ibu kopi dan gula di warung depan,” pinta Ibu kepadanya, menyerahkan beberapa lembar rupiah ke tangannya.

  Atik menerima uang itu tanpa membantah. Percuma, pikirnya. Nanti malah dimarahi. Dia segara bergegas melangkahkan kakinya ke warung depan. Tapi begitu sampai di sana, warung itu ternyata tutup. Atik bingung. Mau kembali, paling-paling Ibu akan menyuruhnya membeli kopi dan gula di warung lain.

  Akhirnya gadis kecil itu kembali berlari ke warung Bang Saipul yang berada di pinggir jalan raya. Jaraknya lumayan jauh. Oleh sebab itu dia mengayuh langkahnya secepat kilat. Dan secepat itu pula dia kembali berlari ke rumahnya sambil menenteng plastik berisi kopi dan gula.

  Sebelum Atik masuk ke dalam rumah menyerahkan Kopi dan gula kepada Ibu, dia masih melihat teman-temannya bermain lompat tali. Tapi saat dia pergi ke tanah lapang untuk segera bergabung dengan teman-temannya, terdengar suara adzan Maghrib memanggil-manggil dari menara masjid yang letaknya tak jauh dari tanah lapang. Teman-temannya segera menghentikan permainannya. Mereka bergegas kembali ke rumahnya masing-masing. Atik tertunduk lemas. Dia pun melangkahkan kakinya kembali ke rumah.

  Kejadian seperti yang Atik alami hari ini, bukan baru sekali terjadi pada dirinya. Hampir setiap hari waktunya habis dipergunakan untuk membantu ibunya. Atik suka merasa iri dengan teman-temannya. Mereka selalu punya waktu utnuk bermain-main. Sementara dirinya… waktunya habis untuk membantu ibunya. Dari menyapu halaman rumah, menjaga Ningrum, disuruh ke warung, menjemur pakaian, dan masih banyak lagi tugas yang sering dibebankan oleh ibunya kepadanya. Atik ingin seperti teman-temannya yang lain. Bisa bermain-main sesuka hati.

  “Kalau ibuku menyuruh aku ke warung, aku selalu diberinya uang. Jadi aku senang kalu disuruh Ibu pergi ke warung,” kata Tiara, gadis kecil tetangganya yang tinggal di sebelah rumahnya.

  Lain lagi dengan Sheila yang tinggal di belakang rumah Atik.

  “Kalau aku tidak pernah disuruh-suruh sama mamiku. Pembantuku ada tiga. Jadi aku nggak pernah disuruh melakukan pekerjaan apa pun. Kalau aku membutuhkan uang, aku tinggal bilang saja pada Mami atau Papi.”

  Atik hanya mendesah mendengar cerita teman-temannya itu.

  Malam hari di dalam kamarnya, Atik mengambil secarik kertas kosong. Dia ingin membuat daftar pekerjaan yang sudah dilakukannya hari ini. Mulai detik ini, Atik ingin minta bayaran pada Ibu untuk pekerjaan yang dilakukannya.

  Untuk menyapu halaman rumah setiap pagi dan petang, Atik akan meminta Ibu membayarnya Rp 1000. Untuk menjaga adiknya, cukup Rp 500 saja. Menjemur pakaian, Rp 500. Dan untuk sekali pergi ke warung, dia memasang harga Rp 500.

  Ibu sangat terkejut waktu Atik menyerahkan daftar itu kepadanya. Tapi dia tidak marah. Ibu malah tersenyum. Kemudian mengambil pulpen dan menuliskan sesuatu di balik kertas yang Atik berikan. Lalu menyerahkan kembali kertas itu kepada Atik.

  Atik membaca tulisan Ibu di kertas itu.

  “Untuk biaya Atik tinggal di rahim Ibu selama sembilan bulan sembilan hari: gratis. Untuk rasa sakit yang Ibu rasakan waktu melahirkan Atik: gratis. Untuk setiap tetes ASI yang Ibu berikan kepada Atik: gratis. Dan untuk kasih sayang yang Ibu berikan kepada Atik: gratis!”

  Atik memandang ibunya. Dia sadar kalau apa yang selama ini dia perbuat untuk membantu Ibu tidak ada apa-apanya dibandingkan yang telah Ibu berikan selama ini kepadanya. Dan untuk semua yang telah Ibu berikan kepadanya itu, Ibu tidak meminta bayaran sepeser pun kepadanya! Tanpa sadar Atik meneteskan airmata di pipinya yang bulat.

  Ibu merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum. Atik segera menghambur ke dalam pelukan ibunya. Lalu membisikkan sesuatu ke telinga ibunya, “Atik sayang sama Ibu!”

  “Ibu juga sayaaaaang sekali sama Atik!”

  Dan mereka pun berpelukan.

TaMat


Sumber: Majalah Favorit No. 14 Thn. IV 4-17 Juli 2005

0 komentar:

Posting Komentar