Novel Denny Prabowo & Dhinny el Fazila
Dompet
Hari kedua di bulan ramadhan, Adji, Amien dan Ody berniat mengunjungi toko buku terbesar di Kota Depok yang berada di jalan Margonda Raya, setelah kemarin gak jadi pergi gara-gara si Adji kekunci di kamar mandi. Mereka bermaksud menghabiskan waktu dengan membaca-baca buku-buku yang dijual di tempat itu. Sampai waktu magrib tiba.
Adji, anak kedua yang punya hobi kemping, paling gemar membaca buku-buku seri petualangan dan komik-komik detektif. Bocah tinggi kurus itu bercita-cita menjadi seorang tentara seperti ayahnya.
Sementara Amien, bungsu dari sembilan bersaudara yang sering dijuluki ‘Pak Ustadz’ oleh kedua sahabatnya itu, paling suka membaca buku-buku agama. Bapaknya seorang guru agama di sebuah SMUN ternama di Kota Depok. Jadi nggak heran kalau pengetahuan agamanya di atas rata-rata anak-anak seusianya.
Sedangkan Ody, anak pertama sekaligus terakhir yang nggak pernah melihat bapaknya sejak dilahirkan ke dunia itu doyan banget melahap bacaan-bacaan yang berhubungan dengan komputer. Sejak masih duduk di bangku kelas satu SD, dia sudah akrab sama yang namanya komputer (sampai-sampai dikiraiin kembarannya komputer). Hobinya nongkrong di depan komputer sampai berjam-jam, membuat dia harus menggunakan kaca mata.
“Kiri, Bang!”
Sopir angkot menghentikan laju kendaraannya di depan toko buku Gramedia. Ketiga sahabat itu melompat turun. Melihat kanan-kiri sebelum menyeberang jalan. Di depan pintu masuk Gramedia, kaki Amien menendang sebuah benda berbentuk segi empat, berwarna hitam pekat, yang terbuat dari bahan kulit.
“Dompet!” Amien memungutnya.
Kebetulan gak banyak orang yang lewat di situ. Jadi gak ada yang ngeliat waktu Amien memungut dompet yang lumayang tebal itu.
“Punya siapa, ya?” gumam Amien.
“Alaaa… nggak perlu tau siapa yang punya. Kita ambil saja uangnya. Terus dompetnya kita buang ke tong sampah. Lumayan buat beli komik baru,” ujar Adji.
“Iya, Mien. Buka puasa nanti kita bisa mampir ke KFC. Kita puas-puasin makan ayam goreng di sana!” timpal Ody.
“Enak saja. Dompet ini bukan hak kita. Haram hukumnya mengambil barang yang bukan hak kita!”
“Dompetnya tebal. Uangnya pasti banyak. Jadi nggak pengaruh kalau kita ambil selembar saja.”
“Selambar atau dua lembar dosanya sama saja. Kalian mau masuk neraka?”
“Terus harus kita apain, dong?”
“Kita kembaliin.”
“Ke mana?”
“Di dalam dompet ini pasti ada KTP-nya. Kita bisa liat alamat pemiliknya di sana.”
“Ngapain sih, repot-repot ngembaliin dompet itu?” kata Adji, “Kita titipin saja ke Pak Satpam. Bereskan?”
“Kalau kebetulan Pak Satpam yang ketitipan dompet ini jujur… kalau nggak? Gimana?”
“Jadi?”
“Kita harus mengembalikan dompet ini langsung ke pemiliknya,” ujar Amien.
“Lalu acara baca-baca kita gimana?” protes Ody.
“Besok-besok kita bisa kembali lagi ke sini, liburan kita kan masih ada beberapa hari lagi,” kata Amien lagi.
“Iya, deh Pak Ustadz…” Adji dan Ody tak lagi membantah.
Amien mengambil KTP dari dalam dompet itu. Dia sama sekali nggak tergiur ngeliat lembar-lembar lima puluh ribuan di dalam dompet itu. Kalau diliat dari ATM yang berjumlah tiga dari Bank yang berlainan, dan dua buah kartu kredit, pasti pemiliknya orang kaya, batin Amien. Amien meneliti alamat pemilik yang tertera di KTP-nya.
“Kompleks Permata Hijau, jalan Lestari Raya no 23 blok B IV.”
“Di mana, tuh?”
“Di… Sawangan!”
“Aku tau tempat itu!” seru Ody, “Sepupuku ada yang tinggal di sana.”
“Di Permata Hijau?”
“Bukan. Tapi di desa Pasir Putih, Sawangan.”
“Kalau gitu kamu tau dong letak kompleks Permata Hijau?”
Ody menggelengkan kepala.
“Daripada nanti kita nyasar, mending kita tungguin saja di sini. Nanti kalau dia sadar kehilangan dompet, pasti dia bakalan balik lagi ke sini,” ujar Adji.
“Ada benarnya juga, sih… ya sudah, kita tungguin sampai ba’da Ashar nanti. Kalau orangnya nggak datang juga, kita cari saja alamatnya!” putus Amien.
“Setuju!”
Waktu terus berputar. Banyak orang yang lalu-lalang di tempat itu. Tapi nggak seorang pun yang ngerasa kehilangan dompetnya. Sayup-sayup terdengar suara adzan Ashar di kejauhan. Ketiga sahabat itu beranjak dari tempatnya menunggu. Mereka turun ke basement. Di area perkir mobil itu ada sebuah ruang kecil untuk karyawan atau pengunjung yang mau menunaikan ibadah lima waktu.
“Dy, kamu tau ‘kan angkot yang ke Sawangan?” tanya Amien seusai menunaikan salat Ashar.
“Tau. D 03.”
“Tapi kita nggak tau alamat persisnya, Mien,” kata Adji.
“Kita bisa tanya sama Pak Sopir. Mereka pasti tau.”
“Oke, deh! Kalau gitu kita harus berangkat sekarang biar nggak kesorean,” kata Aji lagi.
Ketiga sahabat yang sudah berteman sejak masih di bangku kelas satu itu melangkahkan kaki dengan penuh keyakinan.
***
Angkot D 03 yang mereka tumpangi berhenti.
“Iya. Nanti tanya saja sama orang.”
Adji, Amien dan Ody melompat turun dari angkot. Mata mereka berkeliling, mencari orang untuk ditanyai.
“Tuh ada satpam!” Ody menunjuk seorang pria berusia tiga puluh lima tahunan yang baru saja turun dari angkot. “Kita tanyain saja dia. Siapa tau dia satpam kompleks Permata Hijau.”
Ketiganya berlari-lari tergesa menghampiri satpam yang langsung pasang muka manis. Asli jayus banget!
“Ada apa adik-adik? Mau minta tanda tangan sama Abang, ya? Kebetulan nih, Abang baru saja pulang dari lokasi suting.”
Adji, Amien dan Ody saling berpandangan. Ketiganya mati-matian menahan tawa. Takut nanti satpam yang kege’eran itu bakalan tersinggung dan nggak mau menjawab pertanyaan mereka.
“Begini lho, Pak Satpam yang keren abis,” puji Adji, satpam itu langsung pasang aksi. Gayanya dimirip-miripin sama Arnold waktu main di film Terminator. “Kita bertiga, anak-anak yang manis ini, mau tanya, apa Pak satpam yang keren tau kompleks Permata Hijau?”
“Oo…” ucap satpam itu agak kecewa, “Tuh, di seberang sana. Kira-kira 100 meteran dari jalan raya,” tunjuknya males-malesan. Kemudian melangkah kaki kecewa.
Sepeninggal satpam itu, Aji, Odi dan Amien ketawa terpingkal-pingkal. Gaya satpam yang ngerasa kayak artis sinetron tadi itu bener-bener norak abis! Sebenarnya nggak bagus sih ngetawain orang. Apalagi saat sedang berpuasa. Tapi mau gimana lagi… lucu banget sih!
Seorang satpam Permata Hijau menahan langkah mereka saat hendak melintas di depan gerbang masuk kompleks itu.
“Mau ke mana adik-adik?” tanya satpam itu ramah. Yang satu ini cukup menunjukan wibawanya. Nggak pakai bertingkah seperti artis sinetron segala.
Amien mengeluarkan KTP pemilik dompet hitam yang mereka temukan di depan pintu masuk Gramedia.
“Rumahnya Pak Marja. Di blok B IV.”
“Ada keperluan apa?”
“Kami mau mengembalikan KTP-nya yang tertinggal di toko buku.”
Satpam yang ramah itu kemudian mempersilakan mereka lewat.
Setelah berputar-putar mencari rumah Pak Marja, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah megah. Pagar rumah itu sangat tinggi.
“Alamatnya betul, Mien?” tanya Adji.
“Betul. Ini rumahnya!” katanya yakin sekali.
Adji menekan bel yang menempel di pagar rumah besar itu. Berkali-kali. Tapi tak juga ada yang keluar. Sepertinya bel itu rusak. Gak ada suaranya.
“Gimana?” Adji putus asa.
Ody ngeliat pintu kecil di samping gerbang rumah besar itu sedikit terbuka.
“Kita masuk saja, yuk!” usul Ody.
“Nggak sopan, ah.” Amien nggak setuju.
“Jadi, kita harus nunggu sampai orang itu keluar? Keburu magrib, Mien!” ujar Adji.
“Iya. Kita masuk saja!” timpal Ody.
“Oke deh.” Akhirnya Amien setuju juga.
Pekarangan rumah itu sangat luas. Rumput hijau bak permadani dari Turki. Bermacam tumbuhan yang berwarna-warni menyejukkan, melindungi rumah itu dari sengatan sinar matahari.
“Sepi banget…,” gumam Ody.
“Mungkin lagi di belakang?”
“Kita ke belakang saja, yuk!”
Tapi belum lagi mereka melangkahkan kaki ke pekarangan belakang rumah besar itu, tiba-tiba…
“Guk… guk… guk… guk…!”
Seekor anjing dobermen berlari ke arah mereka memamerkan taring tajamnya yang berliur.
“Laaarrrriiiiiii…!!!”
Ketiga sahabat itu lari lintang-pukang. Untung saja anjing yang besarnya lebih besar dari seekor kambing itu nggak ngejar sampai ke luar pager karena lehernya di rantai.
“Alhamdulillah!” ucap Amien.
“Selamat… selamat…” Ody mengelus dada.
“Kurang ajar tuh anjing! Dasar binatang! Nggak punya pikiran kali ya?!” maki Adji, “Nggak tau apa kalau kita-kita mau mengembalikan dompet milik majikannya?!”
Mendengar makian Adji, kedua sahabatnya saling berpandangan. Lalu keduanya ketawa ngakak. Orang kalau lagi panik memang suka aneh-aneh. Masa’ anjing disuruh mikir?
“Kita pulang, yuk?” usul Amien, “Sebentar lagi sudah mau magrib.”
“Terus gimana dengan dompetnya?” tanya Ody.
“Dompet?” Amien meraba-raba saku bajunya. Dompet itu sudah nggak ada. “Wah… ke mana ya dompetnya?”
“Mungkin terjatuh waktu dikejar-kejar anjing nggak punya pikiran itu?” kata Adji masih dengan nada sewot.
“Kalau begitu, kebetulan. Jadi kita nggak perlu repot-repot mengembalikan dompet itu. Aku males kalau harus ketemu sama dobermen itu!” kata Ody.
Terkadang berbuat baik itu memang gak mudah. Tapi nggak ada salahnya mencoba. Yang penting sudah berusaha. Hasilnya serahkan saja pada Yang Mahakuasa.
Amien, Adji dan Ody melangkah ringan meninggalkan rumah besar itu. Tapi baru beberapa meter mereka melangkah, kaki Amien lagi-lagi menendang sesuatu. Sebuah benda persegi empat berwarna biru muda tergolek di aspal jalanan.
“Dompet?”
Ketiga sahabat itu saling berpandangan. Lalu ketiganya tertawa terbahak-bahak teringat dengan kejadian yang baru saja mereka alami: dikejar-kejar anjing!
Di kejauhan, sayup terdengan adzan Magrib menggema.
“Magrib!”
“Alhamdulillah!”
“Kita cari musala dulu, yuk!”
“Siiip!”
Ketiganya melangkahkan kaki sambil berangkulan, dan membiarkan dompet biru muda itu tergolek di aspal sendirian. Mudah-mudahan ada orang jujur yang menemukannya, dan mau ngembaliin dompet itu ke pemiliknya.
0 komentar:
Posting Komentar