Gara-gara Ketiduran di Masjid
Adji dan Ody duduk saling bersandar. Sekali-sekali kepala mereka melangut ke depan atau ke samping. Keduanya keliatan sangat mengantuk. Hanya Amien saja yang nampaknya tekun mendengarkan ceramah yang digelar sehabis salat Subuh itu.
Hari sudah mulai terang waktu pak ustadz yang ngasih tausiah turun dari mimbar. Amien tersenyum-senyum melihat kedua sahabatnya sudah terkapar dengan kedua mata terpejam. Mereka tertidur pulas!
Amien mengguncang-guncang tubuh Adji dan Ody. Tapi keduanya nggak bergeming sama sekali dari posisi tidurnya yang ngelungker mirip uler melinger di atas pager. Amien lalu menepuk-nepuk pipinya Adji. Berhasil! Mata Adji terbuka. Tapi... bocah keling itu kembali memejamkan matanya. Ody ganti menepuk-nepuk pipinya si Ody. Tapi hasilnya sama saja. Anak itu malah sama sekali gak mau ngebuka matanya.
“Duh... pada susah amat sih dibanguninnya!” Amien keki. Tapi dia nggak kehabisan akal. Buru-buru dia pergi ke tempat wudu. Diambilnya segayung air. Lalu kembali ke dalam masjid.
“Hehehe... dengan ini mereka berdua pasti bangun.”
Amien mencelupkan telapak tangannya ke dalam gayung berisi air. Lalu dia kepretkan ke wajah Adji dan Ody bergantian. Adji hanya mengusap wajahnya yang basah tanpa membuka mata. Sedang si Ody, akhirnya tuh anak mau juga ngebuka matanya setelah 3 kali Amien mencepretkan air ke wajahnya. Anak itu bangkit dari tidur. Membenarkan letak kaca matanya yang basah.
“Gerimis ya?”
“Iya. Gerimis lokal,” jawab Amien sambil menunjukkan gayung berisi air di tangannya.
“Huh!” Ody sewot, “iseng banget sih!”
“Habis, bukannya pada dengerin ceramah, eh... malah pada molor!”
Ody kembali merebahkan tubuhnya di karpet hijau itu.
“Eh, mau ngapain lagi?”
“Kalau ceramahnya sudah selesai, bangunin aku ya? Tar kamu ceritain saja ceramahnya ke aku.”
“Ceramah apaan? Sudah selesai dari tadi tau!”
Ody melihat ke sekeliling. Hanya tinggal mereka bertiga saja yang ada di dalam masjid itu.
“Kenapa gak bilang dari tadi kalau ceramahnya sudah selesai?”
Amien misuh-misuh. Kalau gak ingat lagi puasa, sudah digatak jidatnya Ody yang nong-nong.
“Kita pulang yuk!” ajak Amien.
“Si Adji gimana?”
Amien menepuk jidatnya. Dia kelupaan kalau temannya yang paling jago molor itu belum juga bangun dari tidurnya.
“Gimana nih?”
Ody belagak mikir. Tak berapa lama. “Aku tau!”
“Apa?”
“Guyur saja pake air seember!”
“Hah? Sadis amat. Tar karpet masjidnya pada basah semua! Cari yang lain dong.”
“Hmm... kita tinggalin saja, gimana?”
Amien senyum-senyum mendengar usul Ody. Tumben banget tuh anak punya ide jail. Biasanya, dia yang sering jadi bulan-bulanan si Adji. Pernah suatu ketika, Adji ngumpetin kaca matanya Ody. Akibatnya, seharian Amien harus jadi penunjuk arah, persis orang yang menuntun pengemis buta.
“Cabut, yuk!”
Amien dan Ody beranjak tanpa menimbulkan suara sedikit pun, meninggalkan Adji yang suara ngoroknya sudah saingan sama knalpot-knalpot kendaraan yang berseliweran di jalan depan masjid. Sampai di luar masjid, mereka berdua tertawa cekikikan, membayangkan Adji yang bakal kebingungan mencari-cari mereka pas bagun tidur nanti.
***
Siang itu cuaca memang agak sedikit mendung, setelah puas main game di komputernya si Ody, Amien dan Ody pergi nyamper Adji ke rumahnya. Mereka mau ngajakin Adji salat Zuhur berjamaah di masjid. Tapi waktu mereka tiba di sana, ternyata si Adji nggak ada di rumah.
“Bukannya pergi sama kalian?” ibunya Adji malah balik bertanya.
“Nggak kok, Bu,” jawab Amien, “dari tadi kita berdua gak ngeliat Adji.”
“Emangnya Adji nggak bilang mau pergi ke mana?”
“Ke masjid.”
“Ke masjid?”
“Iya, dari Subuh tadi dia belum kembali.”
“Hah?!?” Amien dan Ody saling berpandangan. Lalu keduanya sama-sama berucap, “Jangan-jangan...”
Amien dan Ody lalu pamit sama ibunya Adji mau ke masjid.
Di tempat lain, Bang Fadil, marbot masjid Al-kautsar yang biasa jadi muadzin geleng-geleng kepala, waktu melihat ada seorang anak laki-laki yang asyik mendengkur sendiri di dalam masjid. Bang Fadil tersenyum. Sebelum mengambil mikrofon untuk kemudian mengumandangkan azan dengan suaranya yang serek-serek becek.
Mendengar suara azan berkumandang, kontan saja si Adji langsung bangkit dari tidurnya. Ngusap ilernya yang berleleran di pipinya. Dia melihat ke arah luar. Wah, sudah azan saja! Batinnya. Mendung memang bikin Adji sulit membedakan hari, masih siang apa sudah sore. Dia berlari ke rumahnya dengan semangat empat lima. Di tengah jalan dia berpapasan dengan Amien dan Ody.
“Eh, kalian sudah mau berangkat ke masjid ya?”
“Iya.”
“Aku pulang dulu sebentar, nanti nyusul! Aku belum batalin puasa.”
Amien dan Ody berpandangan heran. “Batalin puasa?” ucap mereka hampir bersamaan.
“Tapi, Dji...” belum sempat Amien menyelesaikan ucapannya, Adji sudah keburu lepas landas, berlari meninggalkan keduanya. Amien dan Ody segera mengejarnya sambil terus manggil-manggil Adji. Tapi Adji larinya cepet banget.
“Assalamu alaikum!” ucap Adji, sebelum tergesa-gesa masuk ke dalam rumahnya.
“Kamu dari mana saja, Dji? Tadi dicariin sama teman-temanmu.”
“Iya, tadi juga ketemu di jalan,” kata Adji sambil terus berlari ke ruang makan. Mambuka kulkas. Membaca doa berbuka puasa, terus menenggak air langsung dari botolnya. Glek... glek... glek... “Alhamdulillah!”
“Kamu nggak puasa?” tanya ibunya heran melihat Adji minum.
“Puasa dong, Bu.”
“Tapi kenapa minum?”
“Lho, tadi kan sudah azan. Memang ibu nggak dengar ya?””
“Ibu juga tau kalau tadi sudah azan. Tapi tadi itu azan Zuhur, bukannya azan magrib!” terang ibunya.
“Hah????”
Pada saat yang bersamaan Amien dan Ody tiba di rumah Adji dengan napas tersengal-sengal.
“Jangan batalain dulu puasanya, Dji!” kata Amien.
“Sekarang belum magrib!” timpal Ody.
“Huaaaaaa... terlambat! Aku sudah minum!”
Mendengar itu Amien dan Ody jadi tertawa terpingkal-pingkal.
“Huh,” Adji merengut, “bukannya pada prihatin, malah ngetawain! Lagi kenapa sih, kalian ninggalin aku sendirian di masjid?”
“Siapa suruh tidur kayak kebo!”
0 komentar:
Posting Komentar