Cerpen Agustiyana
“Selamat malam, selamat jumpa lagi dengan saya, Melinda di Kisah Misteri radio kesayangan kita Mustang, 102,5 FM Jakarta. Kepada para sobat sekalian, apa kabar? Sudah seminggu tidak berjumpa pasti sudah menanti-nanti kisah-kisah apa lagi yang akan bisa membuat bulu kuduk kita merinding. Baiklah langsung saja, ditangan saya sudah ada selembar surat yang datang dari Rani di Bogor. Begini ceritanya:
Saya Rani, siswi SMAN 1 Bogor. Di samping rumah saya ada rumah kontrakan milik orang tua saya. Biasanya jika keluar rumah, maka saya akan selalu melewatinya. Suatu siang ketika pulang sekolah, saya lewat di depan rumah tersebut dan saya melihat seorang bapak yang memang tinggal disana sedang menyapu halaman. Bapak itu menoleh pada saya dan tersenyum. Saya pun membalas senyumnya dan berlalu pergi. Sore harinya ibu memberitahu saya kalau bapak yang mengontrak pada kami itu meninggal tadi pagi akibat serangan jantung. Saya sangat terkejut. Tiba-tiba saya merinding. Lalu siapa yang saya sapa tadi siang? Ketika saya melewati rumah yang sudah kosong itu, saya merinding sekali. Sampai saat ini, saya tetap tidak tahu siapa yang saya alami siang itu…”
“Woi, Kinan, serius banget dengerinnya.” Dian menepuk pundakku membuatku terperanjat. Astagfirullah, lirihku.
Ku tatap dia tajam, dia cuma nyengir seraya duduk di atas tempat tidur. Tega sekali dia mengejutkanku seperti itu. Kupalingkan tatapanku kembali ke radio, ceritanya lagi seru.
“Aku heran sama kamu, ngakunya anak Rohis, pake jilbab lebar, rajin ngaji, tapi kok masih suka aja dengerin yang begituan.” Omel Dian.
Aku tak menggubrisnya. Sudah biasa. Paling-paling setelah itu dia tidur. Memang untuk kebiasaan yang satu ini dia paling antipati. Mungkin karena dia tidak suka dengan cerita horror. Katanya dia takut kalau-kalau nanti jika dia mendengar atau menonton film horror, ketakutannya pada hantu lebih besar dari ketakutannya pada Allah SWT. Bukankah itu sama saja dengan syirik. Ya, aku juga berfikiran yang sama, tapi aku orang yang tidak takut hal-hal seperti itu. Mungkin karena terbiasa di rumah dulu sering mendengar tawa-tawa aneh setiap malam dari pohon kecapi di dekat rumah. Kata ibu, itu suara salah satu setan, kuntilanak. Aku memang tidak pernah melihatnya secara langsung, tapi itu bukan masalah. Toh aku tidak mengganggu mereka, jadi mereka pasti tidak akan menggangguku. Untuk mereka dunia mereka, untukku duniaku.
***
“Eh gimana semalam, seru-seru ya ceritanya!?”
Aku yang baru datang langsung nimbrung pada kerumunan teman-teman yang sehobi denganku.
“Iya, dari cerita pertama sampai yang terakhir benar-benar membuatku merinding.” Seru Mega seraya mengusap-usap lengannya.
“Aku paling suka sama cerita tukang nasi goreng di komplek perumahan itu lho.” Kata Tyas bersemangat.
“Iya..iya.. aku tahu, yang pembelinya itu gak balik-balik buat bayarkan. Yang pas dia samperin rumahnya ternyata rumah kosong. Padahal katanya dia ngeliat bener ada banyak orang di depan rumah itu.” Lanjut Indah.
Kami terus mengobrol hingga bel masuk berbunyi. Segera aku duduk di sebelah Dian. Pagi ini diawali dengan pelajaran Biologi Pak Burhan. Biasanya beliau akan telat sekitar 15 menit karena harus piket keliling sekolah dulu untuk mengecek barangkali masih ada anak yang berkeliaran di luar kelas.
“Kinan, kurasa daripada kamu asyik-asyikkan cerita seram kayak gitu, lebih baik kamu ajak mereka untuk diskusi tentang hal-hal seperti itu. Bukankah mbak Dewi pernah memberikan kita materi tentang hal-hal gaib dan bagaimana cara penyikapannya. Kurasa itu akan lebih bermanfaat untuk mereka ketimbang cuma saling cerita kayak tadi.” Dian menoleh padaku. Alisnya terangkat pertanda menunggu responku.
Aku tersenyum.
“Ya, kamu benar juga. Selama ini aku cuma ngeramein obrolan doang. Habis asyik sih. Tapi kalau semua jadi sia-sia kayaknya juga gak bagus. Akukan akan Rohis dan aku ngaji juga, makanya sudah seharusnya aku bagi-bagi ilmu sama yang lain, iyakan?!”
“Yup, bener banget. Kita coba untuk terus berbagi ilmu yang kita dapat. Bukankah Rasulullah saw juga mengajarkan bahwa sampaikanlah ilmu Allah walau hanya satu ayat.”
“Benar! Makasih ya Dian atas pengingatannya.”
“Sama-sama.”
Kami sama-sama tersenyum.
Aku beruntung bisa berteman dengan Dian. Sebenarnya kami baru kenal sejak penerimaan siswa baru satu setengah tahun yang lalu. Aku dan dia sama-sama dari daerah dan berniat untuk ngekos disini. Mungkin karena dia keturunan asli Solo, makanya sikapnya dalam menghadapi sesuatu selalu sabar dan lembut.
***
Malam ini aku sudah duduk di dekat satu-satunya hiburan kami di kamar yang berbentuk persegi panjang ini. Hanya ada satu tempat tidur di dekat jendela yang berselimutkan sepray warna biru, warna kesukaan kami serta dua bantal. Ada juga lemari kecil tempat kami menyimpan pakaian berhadapan dengan tempat tidur. Tepatnya di samping pintu. Kami juga memiliki meja belajar di samping tempat tidur yang tingginya hanya sampai pinggang kami.Buku-buku pelajaran tertata dengan baik disana. Jika kami sedang belajar, maka suasana luar akan terlihat jelas dan yang paling kami sukai adalah angin sore yang lembut memainkan tirai putih tipis yang menggantung menutupi jendela. Membuat suasana nyaman di kamar kami. Namun malam ini cuaca sedang mendung sehingga angin diluar berhembus dingin sekali. Jadi kami menutup rapat jendela itu.
Lima menit lagi jam sepuluh, artinya acara kesukaanku akan dimulai. Aku duduk dilantai bersender di tembok di samping meja belajar, karena hanya disana stop kontak itu menetap. Radio kuletakkan di atas kursi kecil di depan meja belajar agar aku bisa mendengar suaranya dengan jelas. Ku selonjorkan kakiku hingga masuk ke bawah tempat tidur. Karena kamarnya yang kecil sehingga kakiku pun harus rela berada di bawah tempat tidur.
“Selamat malam pendengar radio Mustang yang berbahagia, kembali hadir bersama Melinda di Kisah Misteri radio Mustang, 102,5 FM Jakarta. Wah, pendengar, banyak cerita-cerita menarik yang masuk ke redaksi Mustang. Kami harap cerita-cerita ini bisa menghibur kita semua di malam jum’at yang bertepatan dengan jum’at kliwon ini. Hiiiihhh… makin seram aja ya.” Seru penyiar Mustang itu semangat.
Dian sedang membaca novel di atas kasur. Dia tidak lagi celoteh atas hobiku ini, karena niatku sudah lurus.
Cerita-cerita dari Mustang kali ini sedikit lebih menyeramkan dari yang lalu. Ada saja orang yang mengalami hal-hal seperti itu. Tepat pukul 11, tiba-tiba saja suara penyiar yang sedang berkoar-koar tak terdengar dari radio. Ku ketuk-ketuk radionya, siapa tahu radioku rusak.
“Kamu ngapain sih Kin? Kenapa radionya dipukul-pukul seperti itu?”
Dian meletakkan novelnya di atas kasur dan mendekatiku.
“Aku gak tahu kenapa. Tiba-tiba saja suaranya gak ada. Apa radionya rusak ya?!”
Terus kuketuk pelan hingga suaranya muncul lagi.
“Alhamdulillah, dah bisa tuh.” Seruku senang.
Dian memanyunkan bibirnya melihat tingkahku. Dia melanjutkan lagi bacaannya, tapi bukan di atas kasur, tapi duduk di sebelahku.
Suara yang keluar dari radio itu begitu lemah. Bukan, bukan suara Melinda, sepertinya ada telepon yang masuk. Tapi dari siapa ya?. Ini pasti karena mati tadi, makanya aku gak tahu siapa yang telpon. Ku dekatkan telinga ke speaker radio agar bisa lebih jelas.
“Saya…saya…hiks…hiks…tolong saya. Saya sendirian disini. Pengap, bau. Saya tidak bisa menggerakkan badan saya. Saya takut sekali. Tolong saya…” suara itu begitu lirih. Sesekali terdengar sesegukannya. Kira-kira siapa wanita ini ya? Kenapa dia minta tolong?. Ku dengarkan lagi dengan seksama.
“Saya takut sekali. Tolong… saya tidak mau disini. Saya sendirian. Tangan saya tidak bisa digerakkan. Disini dingin. Tubuh saya beku. Tolong saya…”
Huusss… tiba-tiba saja angin dingin menyergapi badanku. Entah kenapa. Bulu kudukku berdiri semua. “Astaghfirullah, kenapa ini?” lirihku.
“Kenapa ya Kin, kok tiba-tiba udara jadi dingin gini? Aku merinding nih.” Kata Dian. Tatapannya berkeliling sambil merangkul lengannya.
Padahal jendela kamar ini tertutup rapat. Kipas angin juga tidak menyala, tapi kenapa rasanya dingin sekali. Aku kurang suka jika bulu kudukku merinding. Rasanya seperti…
“Aku juga gak tahu. Aku lagi asyik-asyik dengar orang yang lagi nelpon di radio, tapi tiba-tiba udara jadi dingin gini. Aku juga merinding banget. Tapi anehnya, yang nelpon kali ini malah minta tolong. Memangnya kenapa ya sama dia?”
“Walau tak fokus, samar-samar aku juga dengar suara di radio itu. Siapa sih dia?”
Aku menggeleng. Kembali kufokuskan telinga pada suara itu.
“Tolong…tolong saya. Sore tadi saya baru saja dari mall depok. Ketika saya berjalan pulang, tiba-tiba saja kepala saya dipukul dan saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tolong saya… saya tidak tahu ada dimana sekarang… disini pengap…pengap sekali…hiks… Dingin, dingin sekali… tolong saya, saya takut…hiks…saya takut sekali…”
Tiba-tiba suasana jadi sunyi sekali. Tak ada lagi suara yang muncul dari radio, tapi bulu kudukku masih berdiri. Ku coba untuk menahannya dengan berdzikir. Jantungku berdetak cepat. Tak lama suasana kembali seperti semula.
“Alhamdulillah, “dia” sudah pergi.” Kataku. Nafasku kembali lega.
“Maksudmu apa Kin? Dia siapa?” Tanya Dian bingung.
Ups, yang kumaksudkan ya “dia”, pokoknya yang membuat kami merinding tadilah. Tapi jika kuberitahu Dian, nanti dia jadi panik lagi.
Aku tersenyum. “Gak kok, gak apa-apa.” Ku fokuskan lagi pendengaranku ke suara yang tiba-tiba hilang itu. “Kenapa suaranya hilang lagi ya?” tanyaku mengalihkan perhatian. Kuketuk lagi radionya.
“Oya, masa sih.” Dian ikutan mengetuk radio itu. Tak lama ada suara lagi.
“Aneh ya, biasanya juga radio ini baik-baik saja, kenapa sekarang jadi gak bener gini?!” lanjut Dian.
“Aku gak tahu, tapi sekarangkan dah benar lagi.”
“Maaf sobat pendengar Kisah Misteri Radio Mustang. Ada sedikit kerusakan jaringan tadi sekitar 10 menit. Maaf atas ketidaknyamanan ini, tapi kini kita bisa kembali melanjutkan acara kita. Sepertinya sudah ada telepon, baiklah bagi penelepon pertama ini, nanti kami akan putarkan lagu yang Anda suka. Hallo!!..”penyiar itu berkoar-koar lagi.
Aku jadi bingung. Kenapa penyiar itu bicara begitu? Lalu yang tadi apa??
***
Esoknya kelasku heboh, tidak maksudku kumpulan teman Kisah misteriku. Rupanya mereka juga bertanya-tanya sepertiku.
Aku mendekati mereka yang sedang berkumpul di luar kelas setelah meletakkan tas di bangku.
“Semalam aneh banget ya. Kok bisa begitu?” kata Tyas.
“Aku juga gak tahu. Tapi siapa sih yang nelpon? Aku gak dengar lho pas dia nyebutin nama. Radioku tiba-tiba rusak. Padahal baru saja kuganti yang baru.” Seru Indah.
“Jadi radiomu juga rusak, soalnya aku juga.” Kataku menambahkan.
Kami terus membahas kenapa bisa jadi aneh semalam tadi, sampai-sampai teman-temanku berakhir pada satu kesimpulan.
“Jangan-jangan dia hantu.” Celetuk Mega.
Kami semua menatapnya.
“Ah, gak mungkin, masa’ bisa begitu.” Sangkalku.
“Iya, aku juga berfikir begitu. Pasti itu hantu. Habis aku merinding banget semalam.” Kata Tyas menambahkan.
Suasana sedikit menegang. Ketika aku ingin menyangkal lagi, Indah sudah mendahuluiku yang membuat suasana jadi tidak terkendali.
“Iya, aku yakin itu pasti hantu. Omku yang penyiar itu pernah cerita kalau dia pernah dapat telpon serupa, setelah ditelusuri, penelponnya itu ternyata sudah meninggal dunia.” Jelasnya.
“Eh, jangan ambil kesimpulan seperti itu dulu dong.” Pintaku.
“Tapi semua petunjuk mengarah kesana Kinan. Sama seperti yang Omku ceritakan. Dia sangat merinding ketika menerima telepon tersebut.” Sengit Indah tak mau kalah.
“Ya tapikan…” aku ingin menjelaskan lagi, tapi sudah keburu dipotong oleh Tyas dengan ide bodohnya.
“Gimana kalau kita buktiin kebenarannya.” Seru Tyas.
“Maksudmu?” Tanya Indah.
“Maksudku, ntar pas pulang sekolah, kita jangan pulang dulu. Kita sembunyi dulu di kamar mandi atau dimana kek, yang pasti jangan sampai kita ketahuan masih disini. Habis itu kita kumpul lagi dikelas untuk memanggil cewek itu.” Bisik Tyas.
Aku terkejut. Aku sudah tahu maksud Tyas ini.
“Maksudmu kita main Jelangkung gitu?!” Tanya Mega menegaskan.
“Sssttt… Iya.” Tyas buru-buru membekap mulut Mega. Kepalanya celingukan takut-takut ada yang mendengar.
“Nggak, nggak boleh!! Kita gak boleh melakukan hal-hal seperti itu.” Tolakku tegas.
“Ah, kamu takut nih. Kamukan berjilbab, sering ngaji pula, masak sama yang beginian aja takut. Bukannya malah hantu takut sama kamu.”kata Tyas sinis.
“Astaghfirullah, ya Allah. Bukan begitu Tyas. Bukan masalah aku takut atau nggak. Tapi masalahnya jika kita melakukan hal seperti itu maka pasti bisa terjadi hal-hal yang gak kita inginkan. Kita gak boleh main-main sama hal-hal gaib seperti itu. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. Kita hanya disuruh untuk meyakininya, bukan untuk menelusurinya. Akibatnya bisa sangat buruk apalagi jika ketahuan sama pihak sekolah.” Jelasku. Kuharap mereka mau mengubah pikiran mereka.
“Sudahlah Kinan, kalau kamu memang gak setuju, ya sudah gak usah ikut. Biar kita-kita saja yang melakukannya. Biar kita-kita saja yang menemukan kebenarannya.” Kata indah yang membuatku begitu terkejut.
Masya Allah, teman-temanku. “Tapi Indah…” kata-kataku terpotong oleh bel masuk. Mereka buru-buru masuk meninggalkanku sendiri.
Aku berjalan masuk ke kelas dengan lesu. Segera aku duduk di sebelah Dian.
“Ada apa Kinan?” Dian pasti ingin tahu kenapa aku jadi lesu.
Tidak boleh, aku tidak boleh membiarkannya begitu saja. Kuceritakan semuanya kepada Dian.
“Masya Allah, masa’ sih Kin?!” seru Dian tak percaya. “Kita harus menghentikannya. Gak boleh kita biarkan begitu saja.” Tambahnya.
“Iya, aku tahu. Nanti pulang sekolah, jangan pulang dulu ya. Kita lihat mereka dulu. Jika mereka masih nekat, baru kita bertindak.” Seruku mantap.
Ya Allah, jangan biarkan teman-temanku melakukan hal bodoh seperti itu. Lindungilah mereka, do’aku.
Seperti rencana kami tadi, aku dan Dian ikut-ikutan bersembunyi. Setelah sekolah benar-benar sepi, baru kami keluar. Kami mencari mereka di kelas kami, tapi mereka tidak ada. Kuharap mereka tidak jadi melaksanakan niat mereka, tapi lalu tiba-tiba Dian menarikku ke kelas yang ada di pojok sekolah. Kelas yang memang tertutup oleh pohon besar.
Perkiraanku meleset. Mereka tetap melaksanakan niatnya. Astagfirullah, apa yang mereka lakukan.
Aku dan Dian segera masuk ke kelas tersebut. Kami melihat Tyas, Indah, dan Mega yang berdiri di depan kelas dan melingkari sebuah meja. Suasana kelas yang sedikit gelap karena cahaya matahari yang sedikit masuk, ditambah waktu yang menunjukkan matahari akan segera tenggelam membuatku sedikit cemas. Ada selusup rasa takut yang bermain dihatiku. Dian menggenggam tanganku. Kurasa dia merasakan hal yang sama.
“Tyas, kamu apa-apaan sih. Ku kira kalian tidak jadi melakukannya.” Kataku sedikit berteriak.
Mereka tak menggubrisku. Dari mulut mereka keluar lafal-lafal yang aneh. Kulihat di atas meja yang mereka kelilingi ada selembar kertas dengan huruf-huruf abjad yang menghiasinya. Ada koin juga di atasnya dan ketiga jari mereka menempel di atas koin tersebut. Masya Allah, ini sudah syirik namanya.
“Indah, Mega, berhenti!” teriakku. Aku ingin mendekati mereka, tetapi ada rasa enggan menyelimuti kakiku. Rasanya tubuhku terpaku oleh rasa takutku sendiri.
Mereka terus melafalkan kalimat-kalimat itu. Tiba-tiba saja kulihat koinnya bergerak.
Genggaman Dian semakin erat. Kudengar dia berdo’a.
“Ya Allah, lindungilah kami. Jangan biarkan hal-hal yang tak mampu kami atasi terjadi pada kami.”
Hawa tiba-tiba jadi dingin. Sama seperti yang aku rasakan di kamar semalam. Apa yang sesungguhnya terjadi?. Selusup rasa takut itu masih saja menggelayuti hatiku. Bulu kudukku merinding. Rasanya perasaanku tidak enak. Seperti ada sesuatu yang sangat tidak menyenangkan menyelimutiku.
“Tyas, aku tidak mau melanjutkannya. Tiba-tiba aku merinding dan aku takut sekali.” Lirih Mega. Wajahnya pucat. Jarinya masih menempel pada koin yang bergerak perlahan itu.
“Tapi kita sudah setengah jalan Mega. Sudahlah, beranikan dirimu!.” Bentak Tyas.
Indah dan Mega terkejut dengan bentakan Tyas.
“Aku juga gak mau ngelanjutinnya Tyas. Aku mau udahan aja.” Indah hampir melepaskan jarinya dari koin yang langsung dicegah Tyas.
“Indah, kamu apa-apaan sih! Jangan dilepas jarinya! Usaha kita hanya akan jadi percuma!” bentak Tyas lagi. Aku dan Dian ikutan terkejut.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba Tyas menegang dan pingsan.
“Astaghfirullah Tyas.” Teriakku. Keberanianku untuk bergerak muncul melihat temanku terkulai lemas seperti itu. Aku menghampirinya.
Indah dan Mega berangkulan. Mereka sangat pucat ketakutan. Dian memeriksa nadi Tyas, karena dia juga anak PMR.
“Nadinya pelan. Ayo kita harus mencoba untuk menyadarkannya. Kinan, coba tepuk-tepuk pipi Tyas. Indah, Mega, tolong kami, pijit-pijit tangan dan kaki Tyas. Mungkin saja ada aliran darah yang tidak lancar ke kepalanya. Aku akan mengangkat kakinya agar tidak sejajar dengan badan. Moga tak lama setelah ini Tyas bisa sadar.” Dian melepas sepatu dan kaus kaki Tyas.
Aku, Indah, dan Mega melakukan apa yang diminta Dian. Ku tepuk-tepuk pipinya Tyas seraya memanggil-manggil namanya. Memintanya beristighfar.
“Tyas, bangun Tyas, istighfar Yas. Astaghfirullahaladzim…” lirihku, tapi Tyas tak juga bangun.
“Dian, kenapa tangan Tyas jadi dingin begini? Apa kalau orang pingsan tubuhnya jadi dingin?” Tanya Indah.
“Iya, kakinya juga.” Tambah Mega.
“Tidak begitu. Meskipun dalam keadaan pingsan, suhu tubuh kita tetap tidak akan turun sedrastis ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Tyas.”
Aku terus mencoba menyadarkan Tyas sampai tiba-tiba kulihat dia tersenyum. Aneh sekali.
“Masya Allah.” Lirihku.
Tidak, tidak hanya tersenyum, Tyas juga tertawa, walaw tidak kencang. Padahal matanya masih terpejam. Tubuhnya menggeliat seperti orang yang memberontak. Indah dan Mega ketakutan. Mereka menjauh dari tubuh Tyas yang meronta. Aku memegangi pundaknya erat, sedang Dian memegangi kaki Tyas.
“Kinan, kurasa sesuatu terjadi pada Tyas. Kurasa dia kesurupan.” Kata Dian panik.
“Masya Allah. Tyas. Dian, pegangi kaki Tyas. Tekan jempol kakinya kuat-kuat. Jangan lupa terus membaca ayat kursi atau surat Al-Fatihah. Indah, Mega, bantu kami. Tolong kalian bantu pegangi Tyas. Tapi jangan lupa untuk terus baca ayat kursi atau Al-Fatihah atau surat apapun yang kalian hapal. Pokoknya jangan sampai hati kalian kosong.”pintaku.
Masya Allah Tyas. Kenapa bisa begini?. Aku terus memegangi pundak Tyas yang terus meronta. Dia berteriak-teriak dan terus memberontak. Tawanya begitu mengerikan. Aku tak suka mendengarnya. Membuatku sungguh takut.
“Ya, Allah, tolonglah kami. Tolonglah teman kami ini.” Lirihku.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Pengetahuanku terbatas untuk hal-hal seperti ini.
“Kinan, kurasa kita gak akan bisa mengatasinya sendirian. Kita harus memanggil orang lain. Biar ku panggil Pak Ali agar membantu kita.” Usul Dian. Dia terlihat sangat kepayahan memegangi kaki Tyas.
“Iya, kamu benar. Cepat panggil Pak Ali.” Pintaku.
“Mega, tolong gantikan posisiku. Tolong kamu tekan keras-keras jempol kaki Tyas. Jangan sampai lepas dan jangan pernah berhenti untuk berdzikir setakut apapun dirimu. Aku akan memanggil Pak Ali dulu.” Pinta Dian.
Mega langsung menggantikan posisi Dian. Walaw kulihat dia sangat takut, tapi aku sangat bangga padanya karena dia bisa bertindak cukup tenang dalam kondisi seperti ini. Indah juga. Dian segera keluar untuk mencari pak Ali.
“Tyas, kenapa jadi begini sih? Sadar dong Yas!” Indah menangis. Kulihat Mega juga hampir menangis.
“Indah, Mega, kita gak boleh lemah. Kita gak boleh nangis. Kita harus kuat. Insyaallah Tyas tidak akan kenapa-kenapa. Kita harus terus mendoakan kebaikan untuknya.” Padahal aku juga tak setegar mereka, tapi jika aku menunjukkan kelemahanku saat ini, maka siapa lagi yang akan menguatkan kami.
Tak lama Pak Ali, penjaga sekolah kami dan Dian datang bersamaan. Kulihat raut wajah beliau sangat cemas. Wajah keduanya basah, kurasa mereka sudah berwudhu.
“Kinan, kamu ganti posisi dengan Dian. Dia sudah berwudhu. Biar dia saja yang membantu bapak. Kamu wudhu dulu bergantian dengan temanmu yang lain. Ayo cepat.” Perintah Pak Ali.
Aku segera bertukaran posisi dengan Dian. Pak Ali memakai sarung tangan dan memegangi kepala Tyas. Beliau membacakan ayat-ayat Al-qur’an untuk membuat Tyas sadar. Tyas semakin memberontak. Aku segera keluar untuk berwudhu. Setelah itu aku langsung bergabung lagi dengan mereka dan bergantian dengan Indah dan Mega untuk berwudhu juga dan kembali kemari.
Tyas terus memberontak. Dia berteriak kesakitan. Aku tak tega melihatnya, tapi harus bagaimana lagi. Alhamdulillah sepuluh menit kemudian tubuh Tyas melemas dan dia kembali pingsan.
“Sekarang Insyaallah dia sudah tidak apa-apa. Tapi bapak rasa kalian harus siap-siap untuk menjelaskan semua ini di depan kepala sekolah. Tadi bapak meminta istri bapak untuk menghubungi Pak Yanto.” Jela Pak Ali. Wajahnya berkeringat. Beliau tampak kelelahan. Beliau pun duduk di kursi guru.
“Alhamdulillah” lirihku.
Kulihat wajah Dian, Indah, dan Mega terlihat tenang. Kami sama-sama terduduk lemas. Bukan hanya karena lelah memegangi tubuh Tyas, tetapi juga karena melawan rasa takut yang kuat menyelusup ke hati kami. Tapi Alhamdulillah rasa takut itu berangsur menghilang.
Tak lama Tyas sadar. Dia bertanya-tanya apa yang terjadi. Kenapa kami terlihat sangat kelelahan. Tapi kami semua bungkam. Kami tak ingin membuatnya khawatir karena kejadian tadi.
“Tidak apa-apa Tyas. Tadi cuma ada sedikit masalah dan kamu pingsan. Sudah, kamu istirahat saja dulu.” Kataku menenangkan.
Indah memegang tanganku. “Kinan, maafkan kami ya. Ini semua salah kami. Padahal kamu telah memperingatkan kami. Jika saja kami menurutimu, maka semua ini tidak akan terjadi.” Dia terlihat sangat merasa bersalah.
“Iya Kinan. Terima kasih ya sudah datang kemari. Terima kasih juga Dian. Jika kalian tidak ada tadi, kami tidak tahu harus bagaimana. Maafkan kami ya.” sesal Mega.
“Sudahlah, tak apa. bukankah kini semua sudah beres. Walaw kita masih harus menghadapi kepala sekolah dan bersiap menerima hukuman, tapi semua sudah berakhir sekarang dan pasti kini kita sudah tahu mana yang baik dan mana yang tidak bukan?!” jelas Dian seraya tersenyum.
Kami bertiga mengangguk meng-iyakan.
Tak lama Pak Yanto datang beserta supir Tyas yang mengantarkannya pulang. Kami berempat menjelaskan sejelas-jelasnya dan akhirnya Pak Yanto menghukum kami dengan menskors kami sehari serta menyuruh kami menulis surat penyesalan.
Sesungguhnya Allah menciptakan kedua dunia ini dengan maksud yang hanya Dia yang tahu. Kita sebagai manusia seharusnya tidak melanggar batas-batas yang sudah Dia tentukan. Itulah kata-kata Dian untuk mewakili apa yang terjadi pada kami. Setelah itu, aku, Indah, Mega, dan Tyas tidak lagi mendengarkan radio misteri itu. Kami masih belum siap jika suatu hari nanti harus menghadapi hal-hal yang seperti itu lagi. Biarlah semuanya hanya menjadi misteri Ilahi dan kita sebagai manusia cukup hanya mengimaninya sesuai apa yang diperintahkanNya.
0 komentar:
Posting Komentar