profil flp depok

keceriaan

ketekunan

kebersamaan
FLP Depok Menerima Anggota Baru Angkatan VIII # mau bergabung klik Form Pendaftaran

Guruku Tampan Sekali

Senin, 02 November 2009

Cerpen Denny Prabowo
Sumber: anekayess-online.com


“Cinta mampu menembus batas apa pun, termasuk etika.”

Jatuh cinta itu soal biasa. Tidak haram hukumnya. Yang haram itu kalau kita salah mengekspresikannya. Puasa aja kalaudilaksanakan pas hari raya lebaran jelas-jelas ibadah yang diharamkan! Tapi buat Arinda jadi tidak biasa. Agak sedikit di luar kebiasaan anak-anak remaja seusianya. Pasalnya, dia jatuh cinta sama guru matematikanya! Gila!!! Sebagian orang pasti akan berkata begitu. Begitulah cinta, tidak punya mata. Dia datang begitu saja tanpa diundang.

Kapan saja, di mana saja dan pada siapa saja!

Pak Andi guru matematika yang baru mengajar di sekolah Arinda sejak dua bulan yang lalu—yang kalau dilihat dari tampangnya, usianya tidak lebih tua dari ibunda Arinda itu, punya alis tebal di atas kedua matanya yang memancarkan wibawa. Hidungnya mancung. Kumisnya tipis. Dagunya lancip. Perawakannya tinggi. Berkulit putih bersih. Yah… kalau dijejerin sama Ari Wibowo aja sih, gak kalah-kalah amat. Mungkin itu pula yang menyebabkan nilai matematika siswi-siswi di kelas 3 IPA 2 meningkat pesat. Terutama Arinda. Padahal, waktu mata pelajaran itu dipegang Bu Jamilah yang judesnya nauzubillah, nilai ulangannya selalu tidak lebih dari lima. Tapi setelah dipegang oleh Pak Andi, belum pernah nilai ulangannya mendapatkan nilai di bawah 8. Fantastis!

Masih terkenang di benak siswi kelas 3 es-em-u itu, ketika pertama kali Pak Andi menjejakkan kaki di kelasnya.

“Gile… gue kira ada artis sinetron yang nyasar…”

“Nggak taunya guru baru!”

Komentar semacam itu segera saja berhamburan dari mulut para kaum Hawa di kelas itu. Dan Arinda bukan satu-satunya siswi yang matanya dibuat terbelalak oleh ketampanan guru baru itu.

“Wah… kalo sama yang ini mah, nilai ulangan gue bisa dapat 10 terus!”

Rupanya, kesan pertama itu begitu dalam tertanam di dalam lubuk hati Arinda. Ia yang sejak dulu alergi sama matematika, jadi sangat menggemari pelajaran yang banyak dibenci anak-anak sekolah itu (Dengan catatan: Pak Andi yang mengajar).

“Apa sih, kiat kamu bisa mendongkrak nilai ulangan-ulangan matematika? Padahal, semua orang juga tau, kalau elo paling alergi sama pelajaran ini,” tanya Rayya, teman sebangkunya ketika melihat lagi-lagi angka sembilan yang menghias lembar ulangan matematika Arinda.

“Semua berkat Pak Andi.”

“Pak Andi?”

“Sejak guru itu mengajar, aku jadi tertarik sama pelajaran matematika.”

“Sama pelajarannya, atau sama gurunya?”

“You know-lah….”

“Kamu naksir sama guru tampan itu?”

“Yap!”

“Gila!”

“Kalau aku naksir kamu, itu baru gila.”

“Tapi dia kan guru kita. Kalo kagum aja sih, aku maklum.”

“Sekarang aku tanya sama kamu… Apa ada cowok di sekolah ini yang mampu menandingi ketampanan beliau?”

“Yah…”

“Gak ada kan?” potong Arinda, “Kalau begitu, nggak ada alasan buat aku untuk tidak jatuh cinta sama guru tampan itu.”

“Tapi tetap aja, hal itu nggak etis.”

“Cinta mampu menembus batas apa pun, termasuk etika.”

“Kalo Pak Andi sudah menikah, gimana?”

“Tapi gosipnya dia belum beristri.”

“Bisa aja gosip itu salah.”

“Aku rela jadi istri keduanya!”

“Istighfar, Non!” Rayya mengingatkannya. Tapi Arinda tak menggubris kata-kata teman sebangkunya. Gadis itu sudah terlanjur asyik dengan bayangan wajah tampan guru matematikanya. Rayya hanya bisa geleng-geleng kepala.Suatu hari, Arinda nekat bertandang ke rumah Pak Andi ditemeni Rayya. Pak Andi menerima mereka di ruang tamu. Kebetulan saat itu dia sedang memeriksa hasil ulangan matematika kelas tetangga.

“Ada keperluan apa, Rin?” tanya Pak Andi setelah mempersilahkan mereka duduk.

“Mau bantu Pak Andi memeriksa kertas-kertas jawaban,” Arinda memberikan alasan sambil melirik ke arah Rayya. Yang dilirik cuma mesem-mesem saja.Pak Andi tersenyum.

“Boleh kan, Pak?”

“Boleh aja. Rayya sekalian bantu juga nggak apa-apa.”

“Baik, Pak.”

“Sebentar ya, Bapak ambilkan kalian minuman dulu.”

“Wah… gak usah repot-repot, Pak,” Arinda berbasa-basi.

“Ah, nggak kok. Cuma air putih dingin aja.” Pak Andi masuk ke dalam.

Sebenarnya, kedatangan mereka ke tempat itu, karena ada misi khusus berkaitan dengan pertanyaan Rayya tentang status Pak Andi yang mungkin saja sudah menikah. Arinda datang ke tempat itu untuk mencari tahu jawabannya. Makanya, sejak tiba di rumah itu, Arinda terus saja celingukan meneliti dinding-dinding di ruangan itu. Tapi Arinda tidak menemukan ada foto keluarga yang terpajang di dinding-dinding rumah itu. Berarti gosip kalau guru tampan itu belum bersitri benar adanya.

“Sepertinya Pak Andi masih sendiri, deh,” bisik Arinda menyikut ringan lengan Rayya yang mulai konsentrasi dengan kertas-kertas jawaban di tangannya.

“Bodo, ah!”

Pak Andi keluar dengan membawa dua gelas minuman dan sepiring penuh goreng-gorengan. Dia meletakkan di atas meja.

“Istrinya mana, Pak?” ucap Arinda hati-hati, “Kok nggak dikenalin sama kita-kita?”
Rayya langsung menginjak telapak kaki Arinda.

“Adaaauuuww!” Arinda melirik tajam ke arah Rayya yang duduk di sebelahnya.

“Kenapa, Rin?”

“Ah… nggak apa-apa kok, Pak. Saya cuma ngerasa, tiba-tiba saja kaki saya seperti diinjak sama kaki gajah!” jawab Arinda sambil tersenyum meringis.

“Ah, kamu ada-ada aja.”

“Eh, Bapak belum jawab pertanyaan saya…”

“Yang mana?”

“Soal…”

Lagi-lagi Rayya bermaksud menginjak kaki temannya yang sudah dibutakan oleh cinta itu. Tapi kali ini Arinda sudah lebih siap. Dan berhasil mengelak.

“Wue… gak kena!” Pak Andi tertawa melihat tingkah kedua muridnya itu.

“Bapak memang belum menikah, kok. Habis nggak ada yang mau, sih.”

Saya mau, Pak! Kalimat itu terlontar di dalam hati Arinda.

“Saya gak percaya kalau nggak ada wanita yang mau jadi istri Bapak.”

Tiba-tiba saja sorot mata Pak Andi seperti menerawang jauh. Entah ke mana. Mungkin ke masa mudanya. Dan Arinda menemukan ada kesedihan di sana.

“Ada apa, Pak?” tegur Arinda membuyarkan lamunannya.

“Oh, eh… ngg… Bapak lagi teringat dengan masa lalu,” kata Pak Andi agak gugup.
“Cerita dong, Pak!” todong Arinda.

“Kamu tuh lancang banget, deh!” Rayya sudah tidak tahan dengan sikap Arinda.

“Yee… sekedar mau tau gak pa pa, kan?”

Pak Andi tersenyum.

“Dulu…” guru tampan itu mulai bercerita, “bapak pernah hampir menikah. Tapi gagal.
Orangtua laki-laki calon istri Bapak nggak setuju.”

“Alasannya kenapa, Pak?”

“Alasannya, Bapak hanya seorang guru yang gak punya masa depan.”

“Ih, kok picik amat, sih?”

“Yah… semua orangtua kan selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya.”

“Terus… Bapak nggak coba cari lagi?”

Pak Andi menggelengkan kepala. Lemah. “Sampai sekarang Bapak belum bisa melupakannya.”

“Bapak cinta banget ya, sama dia?” Arinda kecewa.

“Eh, kok jadi ngomongin masa lalu, sih? Nanti meriksa kertas jawabannya jadi gak selesai-selesai.” Pak Andi berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Eh, kamu tahu di mana Bapak bisa menjahitkan kemeja?”

“Wah… kebetulan,” Arinda girang, “ibu saya seorang penjahit, Pak!”

“Wah… Bapak bisa minta discount , dong?”

“Tenang aja, Pak.”

“Kalau ayah kamu, kerja di mana?”

“Ayah saya udah nggak ada, Pak. Sudah meninggal dunia. Saya aja gak pernah sempat melihatnya. Waktu itu saya masih dalam kandungan ibu saya. Setelah kematian ayah saya, ibu saya gak mau menikah lagi.”

“Ibu kamu pasti sangat mencintai ayah kamu, ya?”

“Kalau itu saya agak ragu, Pak. Soalnya ibu saya pernah cerita, kalau pernikahannya dengan ayah saya karena dipaksa oleh orang tua.”

Pak Andi mengangguk-angguk.

“Jadi, kapan Bapak mau mengantarkan bahan kemeja ke rumah saya?”

“Kapan ya…”

Arinda jadi sewot berat gara-gara Pak Andi tidak masuk kelas hari itu. Padahal, kemarin Pak Andi mengatakan ingin main ke rumahnya. Sehari saja tidak melihat guru tampannya, rasanya hidup jadi kehilangan gairah.

“Duh… sampe segitunya,” goda Rayya, “Baru juga gak ngeliat sehari, udah kehilangan gairah. Apalagi kalo sampai ditinggal menikah sama Pak Andi…”

“Jangan-jangan beliau sakit…” Arinda cemas.

“Kalo sakit, biasanya dia nitipin tugas ke guru piket. Jangan-jangan, waktu berangkat ke sekolah tadi, dia kecantol sama seorang wanita, dan langsung menikah…”

“Ah, gak lucu tau!”

“Lho, bisa aja kan?”

Kata-kata Rayya itu semakin membuat hati Arinda menjadi gelisah. Dan kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi tatkala sampai bel pulang berbunyi, Pak Andi tidak juga kunjung datang ke sekolah.

“Antar aku ke rumahnya Pak Andi, yuk?” mohon Arinda kepada Rayya.

“Kamu serius suka sama Pak Andi, ya?”

Arinda mengangguk lemah. Rayya prihatin melihat temannya yang sedang terjangkit virus cinta itu.

Ditemani Rayya, Arinda pergi ke rumah Pak Andi. Tapi pintu rumahnya terkunci. Pak Andi tidak ada di rumahnya.

“Tadi pagi berangkat ke sekolah kok,” jawab tetangga di sebelah rumahnya, waktu Arinda menanyakan prihal Pak Andi kepadanya.

“Tuh kan, Rin… jangan-jangan yang aku omongin benar.”

“Yang mana?”

“Pak Andi kecantol seorang wanita waktu berangkat ke sekolah, dan…” Rayya urung melanjutkan kalimatnya saat melihat Arinda siap melayangkan cubitan ketubuhnya. Teman sebangkunya itu hanya meringis tertawa.

Akhirnya Arinda melangkah pulang ke rumah dengan hati kecewa. Di depan pintu pagar rumahnya langkahnya terhenti. Dari tempatnya berdiri dia mendengar suara tawa seorang pria di dalam rumahnya.

Seperti suara…

Arinda Tersenyum. Dia segera berlari ke dalam rumahnya. Dan menemukan Pak Andi tengah berbincang akrab dengan ibunya di sana.

“Eh, Rinda… kamu sudah pulang, Nak?” tanya ibunya begitu melihat anaknya datang.

“Ibu sepertinya sudah kenal baik sama Pak Andi?” selidik Arinda penuh curiga melihat keakraban mereka. Pak Andi dan ibunya saling bertukar pandang, membuat Arinda semakin curiga.

“Arinda masih ingat cerita Bapak tempo hari waktu kamu main ke rumah Bapak dengan Rayya?”

Arinda berusaha mengingat-ingat.

“Itu lho, tentang wanita yang gagal Bapak nikahi gara-gara orangtuanya nggak setuju karena Bapak hanya seorang guru yang nggak punya masa depan.”

“Terus?”

“Sekarang sudah nggak ada lagi yang mengahalangi kami untuk menikah,” Kata Pak Andi melirik ke arah ibunya Arinda.

“Maksud Bapak apa, sih?”

“Wanita itu sudah menerima pinangan Bapak?”

“Bapak mau menikah?!”

“Iya.”

“Siapa sih wanita itu, Pak?”

“Ibumu!”

“HAH…?!?”

Sebulan kemudian, Pak Andi resmi menjadi bapak tiri Arinda!

0 komentar:

Posting Komentar